TEMPO.CO, Jakarta - Berdiri sejak 19 Desember 1997, kelompok suporter kota Persija Jakarta, The Jakmania, kerap mewarnai kemeriahan sepak bola tanah air. Beragam aksi kontroversial dari kelompok suporter tersebut juga kerap disorot oleh berbagai media masa. Tidak jarang, kelompok suporter yang didirikan pada era kepemimpinan mantan Gubernur Sutiyoso tersebut diidentikan dengan kerusuhan, tawuran antar suporter, dan ragam tindakan negatif lainnya.
Ketua Umum Jakmania, Ferry Indra Sjarief, menuturkan, untuk membendung aksi negatif anggotanya, Jakmania sebenarnya memiliki panduan etika internal. Etika itu menggariskan bahwa setiap anggota Jakmania tidak boleh melakukan hal yang dapat merugikan Persija, dan harus senantiasa memberikan dukungan kepada klub kesayangannya itu, baik itu secara moral maupun materi.
Baca: Ketua Jakmania Jelaskan Perusakan GBK di Final Piala Presiden
"Kalau ternyata memasang red flare itu membuat Persija didenda, ya, jangan pasang red flare. Kalau menyanyikan lagu rasis membuat Persija didenda, ya, jangan nyanyikan lagu rasis. Kalau menyanyikan lagu rasis membuat teman kami yang Outsider (The Jak yang berdomisili di luar Jakarta) jadi diserang sama lawan, ya, jangan lah," ujar Ferry kepada Tempo di Jakarta pada Senin, 5 Maret 2018.
Menurut Ferry, etika tersebut jelas sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara ini. Jadi, apabila terdapat ulah dari kelompok suporter yang melanggar peraturan seperti membuat kerusuhan, terlibat tawuran, mengganggu ketenangan umum, dan lain-lain, bisa dipastikan itu adalah tindakan dari sejumlah oknum yang tidak bertanggung jawab. "Prinsip kami sebenarnya sejalan dengan peraturan di negara ini. Tinggal anak-anak aja gimana nerapinnya di lapangan," ujarnya.
Baca: Ketua Jakmania Bicara Beda Hubungan dengan Bonek dan Bobotoh
Seperti soal menyanyikan lagu-lagu yang bernada rasis misalnya, menurut Ferry, hal itu jelas melanggar aturan undang-undang yang ada di negara ini. "Itu kan ujaran kebencian," kata dia. Lagipula, kata Ferry, nyanyian lagu rasis juga tidak serta merta membuat Persija yang sedang bertanding bisa menjadi lebih semangat untuk bisa mengalahkan lawannya.
"Emang dikira saat kita menyanyikan lagu rasis kayak gitu, Persija bisa lebih semangat mainnya? Kan enggak. Persija bisa semangat kalau kita nyanyiin lagu secara kompak, secara bersama-sama, murni untuk mendukung Persija," kata dia.
Meski begitu, Ferry mengakui, tidak mudah memang untuk bisa mengendalikan sikap dari para suporter dengan jumlah masa yang tidak sedikit tersebut. Terutama bagi mereka yang tidak terdaftar sebagai anggota dari kelompok suporter Jakmania.
Baca: Setelah 17 Tahun, The Jakmania Haus Gelar Juara Liga dari Persija
Pada November 2016, Tempo pernah menelusuri salah satu istilah yang digunakan untuk para The Jakmania yang tidak memiliki kartu anggota tersebut. Mereka kerap disebut dengan istilah Rojali, yaitu singkatan dari "Rombongan The Jak Liar". Menurut penelusuran Tempo kala itu, anggota seperti inilah yang umumnya sulit dikendalikan dan kerap membuat tindakan yang merugikan.
Saat ditanya tentang keberadaan para Rojali sekarang, Ferry mengakui bahwa kelompok tersebut hingga saat ini masih ada. Meskipun, kata dia, dirinya pribadi kurang cocok dengan ungkapan Rojali yang disebut sebagai para suporter Persija yang tidak terdaftar sebagai anggota dari The Jakmania.
"Menurut gue, Rojali itu adalah sekelompok orang yang memang liar kelakuannya. Misalnya, mereka datang ke pertandingan tanpa tiket. Enggak punya uang, tapi maksain untuk datang. Bagi gua itu kelakuan-kelakuan liar," ujar Ferry. "Gue sebenernya sih kurang sreg. Tapi faktanya memang tetap ada kelompok kaya gitu."
Ferry mengakui, dirinya memang tidak pernah menuntut agar semua suporter Persija harus menjadi anggota dari The Jakmania. Namun, Ferry mengingatkan, setiap perbuatan yang dilakukan oleh suporter Persija, pasti nanti akan disangkut-pautkan dengan keberadaan dari Jakmania sebagai organisasi kelompok suporter terbesar dari Persija Jakarta.
Baca: Asian Games 2018: Jakmania Rusak GBK, Ini Imbauan Wapres JK
Ferry mengatakan bahwa dirinya kerap melakukan koordinasi dengan beragam komunitas pendukung Persija lain, seperti Jak Kantor, Jak Kampus, Curva Nord, dan Curva Sud. Komunitas-komunitas itu, kata Ferry, tidak ada dalam susunan administrasi dari The Jakmania. "Mereka hanyalah komunitas suporter Persija yang memiliki prinsip 'No Leader, Just Together'," ujarnya.
Dengan keberadaan komunitas-komunitas seperti itu, Ferry mengaku bahwa dirinya tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Silakan mereka berkomunitas. Tapi mereka harus sadar bahwa ada organisasi yang memayungi dan melindungi mereka. Jadi gue minta supaya mereka ada kerjasama, mereka ikuti aturan kami," kata dia. "Sejauh ini, kerjasama dengan komunitas-komunitas itu berjalan dengan baik."
Sejak melakukan pemutihan daftar anggota pada Februari 2017 lalu, Ferry mengatakan, hingga kini terdaftar tidak kurang dari 23 ribu Jakmania yang telah memiliki kartu tanda anggota. Para anggota tersebut terbagi ke dalam 64 koordinator wilayah (korwil), yang 44 korwil di antaranya berada di kawasan Jakarta. Sisanya tersebar di wilayah Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
ERLANGGA DEWANTO