TEMPO.CO, Jakarta - Simona Halep menangis sambil merentangkan tangannya ke atas di Stadion Tenis Philippe-Chatrier, Roland Garros, Paris, Sabtu 9 Juni 2018. Hari itu, petenis putri nomor satu dunia dari Rumania tersebut akhirnya berhasil memenangi sebuah seri Grand Slam pada Prancis Terbuka.
Baca: Juara Prancis Terbuka 2018, Simona Halep: Ini Impian Lama
Mata dan wajah petenis berusia 26 tahun itu merah seperti warna lapangan tenis tanah liat kawasan Roland Garros yang termashur itu.
Keharuan, kelegaan, dan pelampian emosi pantas diungkapkan Halep. Pasalnya, prestasi kini sudah lengkap atau paripurna.
Sebelum mengalahkan Sloanne Stephens dari Amerika Serikat 3-6, 6-4, 6-1, Halep masih mengalami ganjalan kariernya sebagai petenis profesional. Padahal, pemain dengan pukulan forehand tangan kanan itu sudah berhasil menduduki puncak peringkat dunia Asosiasi Tenis Wanita (WTA).
Hal itu terjadi karena selama puluhan tahun berlaku seperti peraturan tak tertulis bahwa seorang petenis pro belum diakui kehebatannya kalau belum pernah memenangi minimal salah satu seri turnamen Grand Slam yang berlangsung setiap tahun.
Seorang petenis nomor satu dunia tetap dipandang dengan sebelah mata kalau pernah menjadi juara Grand Slam. Hal itu pernah terjadi pada pemain putri Dinara Safina dari Rusia pada periode 2009.
Baca: Prancis Terbuka: Darah Muda di Semifinal Tunggal Putri
Halep nyaris seperti Safina. Petenis Rusia yang kini sudah gantung raket itu tiga kali sudah tiga kali mencapai final Grand Slam, yaitu pada Australia Terbuka 2009 serta Prancis Terbuka 2008 dan 2009. Tapi, ia selalu kalah.
Halep pun sudah sama seperti Safina. Petenis Rumania dengan tinggi 1,68 meter ini sudah tiga kali kalah pada final Grand Slam. Bahkan, kekalahan yang terakhir dialaminya pada final Australia Terbuka di Melbourne, Januari lalu, melawan Caroline Woniacki.
Adapun dua kekalahan Halep pada final Grand Slam lainnya terjadi di Prancis Terbuka tahun lalu melawan Jelena Ostapenko dan pada 2014 di Roland Garros ini menghadapi Maria Sharapova.
Dan, Sabtu lalu, begitu pengembalian bola juara Grand Slam Amerika Serikat Terbuka, Stephens, menerpa jaring, sontak kegembiraan meledak pada diri Halep dan kubunya, orang-orang terhormat dari Rumania.
Ada Nadia Comaneci, pesenam wanita Rumania yang legendaris di Olimpiade 1976-1980, yang hadir. Lantas tentu saja manajer Halep, Virginia Ruzici, satu-satunya petenis putri Rumania sebelum Halep yang bisa membawa trofi Suzanne Lenglen, lambang juara Prancis Terbuka, 40 tahun lalu.
Setelah terjatuh di final tiga kali dan kalah pada set pertama melawan peringkat 10 dunia, Stephens, 25, Halep akhirnya bisa memetik hasil dari jalan panjang dan berat dari perjuangannnya.
“Dalam game terakhir, saya merasa tak bisa bernapas lagi,” kata Halep sebagai dikutip The Guardian.
“Saya hanya tidak ingin mengulangi apa yang terjadi tahun lalu,” katanya mengenang kekalahan tiga set yang dialami melawan pemain nonunggulan, Jelena Ostapenko, di final Roland Garros 2017.
“Saya sangat berterima kasih hal ini tejadi di Paris, kota spesial saya,” Halep melanjutkan.
Halep semakin bertenaga dalam meluncurkan pukulan forehand tangan kanan dan backhand yang kerap memakai dua tangan di Roland Garros kali ini.
Ia sudah mengamankan posisinya sebagai ratu tenis dunia sekarang dengan menyingkirkan juara 2016, Garbine Muguruza, pada semifinal.
Baca: Simona Halep Atasi Perlawanan Kerber di Prancis Terbuka
Tapi, tak ada yang lebih membahagiakan buat Halep sekarang selain memeluk trofi Grand Slam. Sosoknya sudah sah sebagai petenis putri terhebat di muka bumi saat ini.