TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu pahlawan olahraga Indonesia, Winarni, yang pernah meraih medali perunggu
angkat besi Olimpiade 2000, tengah mengalami kesulitan. Ia tengah bergulat mengatasi masalah putranya, yang mengalami kelainan Atresia Esofagus dan butuh biaya besar untuk penyembuhannya.
Winarni pernah mengangkat nama angkat besi Indonesia di mata dunia. Pada tahun 1977 ia merupakan juara dubia Kejuaraan Angkat Besi kelas 50 kilogram putri. Tiga tahun kemudian Winarni mempersembahkan medali perunggu bagi Indonesia di kelas 53 kilogram pada Olimpiade Sydney 2000.
Masa perjuangan Minarni mengibarkan bendera Merah Putih telah usai. Namun sayangnya perjuangan lain harus dijalani Winarni. Wanita yang saat ini berusia 42 tahun itu sedang berjuang menyembuhkan putra Achmad Fariz Taufik yang masih berusia 2,5 tahun.
Di usia yang masih muda, Fariz menderita kelainan Atresia Esofagus atau kondisi tidak berkembangnya usus saat masih di janin. Kondisi itu membuat Fariz tidak bisa menelan makanan ataupun minuman. Fariz hanya boleh menjilatnya. Hal ini membuat berat badannya hanya 10 kilogram di usianya saat ini.
Winarni menyadari putranya memiliki kelainan itu ketika memuntahkan susu pada hari pertama saat dilahirkan di Pringsewu, Lampung. "Dokter bingung bagaimana memberikan makanan kepada Fariz. Tindakan yang diambil akan memberikan risiko," kata Winarni.
Winarni menyebut operasi pertama bagi Fariz adalah pelubangan tenggorokan agar cairan tidak masuk ke paru-paru. Fariz juga menjalani operasi tahap kedua pada usia dua hari guna membuat jalan makanan di perutnya. Selain itu, Winarni harus menyuntikkan susu melalui jalan makanan itu setiap satu setengah jam.
"Saya juga harus memompa jantung anak saya terus-menerus selama sepekan ketika dirawat di RSCM karena perawat tidak ingin berisiko terlalu kencang memompa jantungnya bisa pecah. Jika terlalu lambat, paru-paru berisiko pecah," kata Winarni.
Bekerja sebagai karyawan di P.T. Pos Indonesia, penghasilan Winarni tidak mencukupi untuk membiayai operasi anaknya. Bantuan memang datang dari P.T Pos Indonesia dan Kementerian Pemuda & Olahraga.
Namun, dana bantuan itu belum cukup untuk menopang biaya operasi Fariz yang mencapai Rp 500 juta tanpa jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan guna menyambung usus besar ke tenggorokan sebagai jalan makanan.
Winarni mengatakan biaya operasi itu belum termasuk biaya jutaan rupiah per pekan untuk kebutuhan makanan, selang, dan perban bagi putranya. Ia pun harus menanggung biaya perawatan putra bungsunnya dengan bekerja dan membuka warung makan.
Winarni mengaku pernah meminta bantuan ke Kementerian Pemuda dan Olahraga. "Kemenpora membantu berupa santunan mantan atlet legenda sebesar Rp 40 juta. Saya berharap Kemenpora dapat membantu menanggung biaya operasi anak saya sekaligus pengobatan harian," ujarnya.
Kisah tentang Winarni dan Fariz itu lantas menggugah penulis Maman Suherman untuk mengunggah dukungan pada situs kitabisa.com. Target dukungan itu sebesar Rp 300 juta.
Hingga hari Selasa, 31 Juli 2018, dana yang terkumpul telah mencapai Rp 133,6 juta. Masih tersisa 30 hari lagi hingga pengumpulan donasi ditutup. Bantuan bisa diakses lewat link https://m.kitabisa.com/atletangkatbesi. Hingga Selasa, 31 Juli 2018, dana yang terkumpul mencapai 136 juta.
ANTARA