TEMPO.CO, Jakarta - Minimal sudah ada tiga kali keinginan untuk melakukan perombakan kepengurusan PSSI, yang mendesak, terutama di pucuk pimpinannya, dalam sejarah panjang Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Keinginan itu senantiasa didasari untuk melakukan reformasi dalam hal tata kelola dan pembinaan persepakbolaan nasional yang menggebu-gebu.
Tapi, setelah perombakan kepengurusan berhasil didesakkan, permasalahan sepak bola nasional kembali ke masalah yang itu-itu, klasik, dan stereotipe, seperti soal prestasi tim nasional yang senantiasa medioker di kancah Asia Tenggara dan isu ketimpangan pengelolaan kompetisi di sana-sini.
Baca: Edy Rahmayadi Ogah Mundur dari Posisi Ketua Umum PSSI
Keinginan adanya reformasi persepakbolaan nasional itu misalnya atau antara lain muncul ketika Nurdin Halid (2003-2011) memasuki periode keduanya sebagai Ketua Umum PSSI. Setelah Nurdin Halid berhasil dilingsirkan melalui sejumlah “huru-hara”, Djohar Arifin Husin (Juli 2011-2015) menjadi Ketua Umum PSSI yang baru.
Tapi, masa bulan madu Djohar sebagai pemimpin cabang olahraga yang paling populer di Indonesia dan dunia ini tergolong singkat. Djohar adalah tokoh olahraga murni. Ia sebelumnya berpengalaman menjadi Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia, guru besar, dan juga mantan pemain sepak bola.
Tapi, karena kompleksitas –dan, mungkin juga keruwetan- dari induk organisasi sepak bola nasional ini, Djohar pun tak mampu bertahan lama dan kemudian –kembali- melalui sebuah gerakan, pucuk pimpinan PSSI beralih ke tangan La Nyalla Mattalitti (April 2015), tokoh organisasi kemasyarakatan. Tapi, kepemimpinan La Nyalla tidak diakui pemerintah dengan berbagai argumentasinya -yang sah-sah saja.
La Nyalla terpilih dari tanggal 18 April 2015 dalam kongres, 19 April 2015. Lantas, terbit Surat Pembekuan PSSI sehari sebelum dia terpilih oleh pemerintah yang otomatis diikuti sanksi dari badan sepak bola dunia, FIFA, yaitu larangan bertanding buat tim Indonesia di arena internasional dalam kurun waktu tertentu. Pasalnya, dalam peraturan keanggotaan FIFA, intervensi pemerintah semacam itu dilarang.
Untuk melengserkan La Nyalla, tampaknya dibutuhkan figur yang kuat. Dan, PSSI kembali kepada mereka yang meraih sukses di dunia kemiliteran. Edy Rahmayadi terpilih menjadi Ketua Umum PSSI pada kongres di Ancol, 10 November 2016 sampai sekarang.
Saat terpilih, Edy masih menjabat Panglima Komando Strategis Tentara Nasional-Angkatan Darat dengan pangkat Letnan Jenderal TNI-AD.
Edy Rahmayadi meneruskan tradisi Ketua Umum PSSI dari kalangan militer, baik yang masih aktif maupun ketika sudah pensiun. Antara lain ada Bardosono (1975-1977), Ali Sadikin (1977-1981), Kardono (1983-1991), Azwar Anas (1991-1999), dan Agum Gumelar (1999-2003) pada sejarah di pucuk pimpinan PSSI.
Seperti pada peralihan dari Nurdin ke Djohar di PSSI, harapan besar akan adanya reformasi sepak bola nasional pada era Edy Rahmayadi dan kawan-kawan. Hal ini terutama setelah skorsing dari FIFA diyakini sebagai obat antibiotik penyembuh sakit kronis sepak bola Indonesia
Tapi, pekan-pekan ini, komunitas sepak bola kita kembali jatuh kepada lubang yang sama, desakan dari sebagian pihak untuk mengganti ketua umum PSSI.
Dan, muncullah misi reformasi sepak bola yang secara garis besar sama pada setiap kemunculan peristiwa “huru-hara” Ketua Umum PSSI itu: kebangkitan prestasi tim nasional melalui pembinaan yang lebih baik, kompetisi yang bersih dari isu suap dan pengaturan pertandingan.
Di tengah-tengah perdebatan kelayakan Edy untuk terus memimpin PSSI sampai habis waktu periode kepengurusannya meski sudah menjadi Gubernur Sumatera Utara; juga keputusan sendiri Edy untuk berani merangkap jabatan-jabatan yang sangat vital itu, ia tidak bisa dikritik sendirian.
Edy dan sebagian Ketua Umum PSSI pada masa lalu itu tidak sepenuhnya berniat mencalonkan diri sebagai ketua umum induk organisasi sepak bola nasional ini. Atau, bahkan, ada yang mungkin tidak berniat sama sekali.
Edy memang gemar sepak bola dan ketika menjadi Pangdam Bukit Barisan, ialah tokoh di balik kebangkitan PSMS Medan, sebelum PSMS sekarang di dasar klasemen Liga 1.
Tapi, Edy tak sepenuhnya berniat menjadi Ketua Umum PSSI. Ketika ia dicalonkan, ia meminta jaminan dari mereka yang mendukungnya. Itu kesan dari pertemuan Edy dengan para wartawan yang dihadiri penulis di Markas Besar Kostrad-TNI AD, saat ia masih menjadi Pangkostrad dan pada awal proses menuju Kongres PSSI di Ancol.
Kembali lagi. Kini kita menghadapi situasi di PSSI yang punya kemiripan dengan peralihan Nurdin ke Djohar dan La Nyalla ke Edy. Dinamika dan desakan-desakan itu bisa menghangatkan Kongres PSSI yang dijadwalkan berlangsung Januari 2019.
Tapi, jika kelak apakah Edy tetap bertahan sebagai Ketua Umum PSSI atau memilih mundur karena kesibukannya sebagai Gubernur Sumatera Utara, obsesi reformasi persepakbolaan nasional tak bisa digantungkan hanya pada pergantian seorang pucuk pimpinan saja.
Selain itu, PSSI tak hanya butuh figur yang cakap, kuat, dan profesional tapi juga didukung oleh sebuah sistem yang dijalankan sebuah komunitas yang menjunjung tinggi etos reformasi itu. Karena itulah, pentingnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Semua itu akan terjadi jika sepak bola dipandang penting dalam pembangunan bangsa. Pada era Presiden Sukarno bahkan sempat ada kementerian khusus olahraga. Maladi adalah Menteri Olahraga. Maladi juga mantan Ketua Umum PSSI. Inggris sekarang juga memiliki menteri olahraga.
Tanpa membentuk lingkungan bersih dan integritas tinggi serta dukungan pemerintah, PSSI mungkin akan kembali jatuh ke lubang yang sama. Dan, kemudian ketika desakan untuk perombakan datang, kita beramai-ramai melakukan gerakan pembaruan untuk kemudian jatuh lagi.
Kalau selalu begitu, PSSI dan kita pecintanya seperti Sisiphus. Dalam cerita mitologi Yunani, ia adalah manusia setengah dewa yang dihukum Zeus, dewa tertinggi, untuk mengangkat batu berat ke puncak gunung dan kemudian digelindingkan lagi ke bawah. Sisiphus kembali mengangkat batu itu dan seterusnya melakukan hal yang sama.
Jika dari Ketua Umum PSSI yang pertama, Soeratin Sosrosoegondo (1930-1940), sampai sekarang, tim nasional kita masih berkutat timbul-tenggelam di Piala Federasi Sepak Bola Asia Tenggara dan tak pernah meraih emas SEA Games lagi sejak 1991, perlu revolusi besar untuk mendobrak analogi dari mitos Sisiphus itu.
HARI PRASETYO