TEMPO.CO, Jakarta - Grand Slam, puncak turnamen tenis profesional individu di dunia, seperti Prancis Terbuka yang sedang berlangsung di lapangan tanah liat Roland Garros, Paris, sampai Minggu, 9 Juni 2019, ini masih merupakan barang mewah buat para petenis Indonesia.
Ada petenis andalan Indonesia saat ini yang baru saja tampil di Roland Garros yaitu Christopher Rungkat. Petenis yang akrab dipanggil Christo ini bermain di ganda putra berpasangan petenis asal Cina, Cheng-Peng Hsieh.
Mereka berhasil menumbangkan unggulan ke-16, Austin Krajicek (Amerika Serikat)/Artem Sitak (Selandia Baru) 6-3, 6-4 pada babak kedua kedua. Namun, pada babak ketiga, mereka dikalahkan pasangan Prancis, Gregoire Barrere/Quentin Halys, melalui pertarungan ketat tiga set, 7-6 (8-6), 3-6, 6-3.
Christo mengucapkan terimakasih untuk seluruh dukungan yang telah diberikan olehnya. Hal tersebut disampaikannya melalui Instagram Story miliknya, @christorungkat. Dengan mengunggah foto dirinya bersama dengan pasangannya yang sedang berada di lapangan tanah liat, Rolland Garros, Paris, Christo menuliskan sebuah teks singkat.
"Kami telah berjuang keras. Kami memberikan segala yang terbaik yang kami bisa. Terima kasih semuanya atas segala dukungannya," tulis Christo, seperti dikutip dari Indosport.com.
Petenis ganda campuran Indonesia Christopher Rungkat (kiri) dan Aldila Sutjiadi memperlihatkan medali emas pada upacara penganugerahan medali seusai menang atas petenis Thailand Luksika Kumkhum dan Sonchat Ratiwatana pada final tenis ganda campuran Asian Games 2018 di Jakabaring Sport City, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu, 25 Agustus 2018. Pasangan ganda campuran Indonesia menang 6-5, 5-7, 10-7. ANTARA/ INASGOC/Wahyu Putro A
Tenis Indonesia bangkit lagi dengan keberhasilan Christopher Rungkat/Aldila Sutjiadi merebut medali emas ganda campuran tenis Asian Games 2018. Raihan itu adalah emas pertama yang diraih petenis Indonesia dalam pesta olahraga multicabang Asia ini sejak Asian Games 2002.
Christo/Aldila juga mengikuti jejak Yayuk Basuki/Hary Suharyadi pada 1990 sebagai ganda campuran tenis Indonesia yang merebut emas Asian Games.
Tapi, pada seri Grand Slam, petenis-petenis Indonesia setelah era Yayuk Basuki masih susah untuk mengukir sejarah baru buat negaranya.
Prestasi tertinggi petenis Indonesia pada seri Grand Slam –yang berlangsung empat kali dalam setiap tahun- masih dipegang Yayuk Basuki. Berpasangan dengan Nana Miyagi yang saat itu bermain atas nama Jepang, Yayuk mencapai semifinal ganda campuran Amerika Serikat Terbuka 1993.
Dua mantan petenis terbaik Asia Tenggara, Yayuk Basuki dari Indonesia dan Tamarine Tanusagarn dari Thailand. TEMPO/Egi Adyatama
Demikian juga di nomor tunggal, sukses Yayuk Bauski mencapai perempat final Wimbledon 1997 pernah bisa disamai lagi oleh petenis Indonesia sampai generasi Christo ini.
Di nomor tunggal, Yayuk juga mencapai babak keempat Australia Terbuka 1998, babak ketiga Prancis Terbuka 1996, dan babak kedua Amerika Serikat Terbuka 1991 serta 1997.
Generasi setelah Yayuk, yaitu petenis putri Wyne Prakusya terhenti pada babak pertama Australia Terbuka 2001, 2002, babak kedua Prancis Terbuka 2002, babak kedua Wimbledon 2002, dan babak kedua Amerika Serikat 2001.
Angelique Wijaya mengembalikan bola ke arah lawannya Beatrice Gumulya dalam Turnamen Tennis BTPB Solo Open 2008 di Solo (24/10). Angelique menang dengan skor 7-5, 6-2 sekaligus memastikan langkah ke semi final. ANTARA/Akbar Nugroho
Tapi, Angelique Wijaya mengukir sejarah sebagai petenis Indonesia pertama yang meraih gelar Grand Slam di kategori junior, yaitu di tunggal putri Wimbledon dan Australia Terbuka 2001-2002 dan ganda putri Australia Terbuka 2002 bersama Gila Dulko dari Argentina.
Meski di kategori tunggal senior prestasi Angelique tidak lebih baik dari Wyne, tapi di nomor ganda putri, ia berada satu tingkat di bawah Yayuk Basuki, dengan mencapai perempat final Australia Terbuka 2004, perempat final Wimbledon 2003, 2004, dan perempat final Amerika Serikat Terbuka 2003.
Setelah era Yayuk, Wyne, dan Angelique, ada petenis Indonesia lagi yang berprestasi di Grand Slam, yaitu Tami Grende. Berpasangan dengan Yu Yequi dari Cina, Tami menjuarai ganda putri junior Wimbledon 2014.
Tapi, setelah itu nama Tami yang berdarah Italia dan lahir di Denpasar, Bali, 21 tahun lalu seperti tidak pernah terdengar lagi di kancah tenis Indonesia.
Untuk tampil di Grand Slam memang sebuah perjalanan mendaki yang sulit, terutama bagi petenis Indonesia dalam karier profesionalnya. Setelah melewati jenjang amatir, masih harus mengikuti berbagai tingkatan kategori turnamen yang dikelola Asosiasi Tenis Wanita (WTA) dan putranya, ATP, sebelum sampai pada seri Grand Slam.
Naik dan turun peringkat yang didapat dari WTA dan ATP akan sangat menentukan seorang petenis, yaitu apakah langsung masuk babak utama atau harus mengikuti kualifikasi lebih dulu. Selain itu, soal biaya buat petenis Indonesia untuk bisa berkeliling dunia buat mendulang poin peringkat di ATP dan WTA juga masih menjadi hal yang mewah.
Bisa masuk babak utama saja menjadi hal yang sangat berharga jika itu bisa dilakukan petenis Indonesia pada seri Grand Slam seperti di Prancis Terbuka ini.