TEMPO.CO, Jakarta - Pelari Kenya Ruth Chepngetich berhasil mengatasi panas dan kelembaban ekstrem untuk menjadi juara maraton tengah malam, dalam Kejuaraan Dunia Atletik 2019 di Doha, Qatar pada Jumat waktu setempat.
Lomba maraton berubah menjadi uji nyali untuk bertahan hidup, yang membuat sepertiga dari 70 pelari peserta lomba gagal mencapai garis finis.
Chepngetich, yang mencatat waktu tercepat ketiga sepanjang masa dalam lomba maraton, tak bisa mendekati rekornya sendiri pada kondisi menekan seperti di Doha ini.
Dia menjadi juara dengan catatan waktu dua jam 32 menit 43 detik yang merupakan catatan waktu paling lambat yang diraih seorang juara kejuaraan dunia atletik.
Tapi tetap saja catatan waktu itu sudah cukup memenangkan dia atas juara dunia dari Bahrain Rose Chelimo yang harus puas dengan medali perak setelah terpaut satu menit di belakang sang juara.
Pelari Namibia Helalia Johannes menuntaskan podium dengan meraih medali perunggu.
Pada nomor pertama yang menyelesaikan nomor medali pada Kejuaraan Dunia Atletik 2019 itu, para atlet putri ini berlari sejak garis start mengarungi lintasan berpenerangan lampu sejauh 42.295 km yang beruap di sepanjang tepi pantai kawasan Corniche yang terkenal di Doha.
Perlombaan yang dijadwalkan dimulai satu menit sebelum tengah malam pada Jumat itu selesai Sabtu dini hari.
Tengah malam dengan suhu 32,7 Celcius dan indeks kelembaban 73% dianggap kondisi yang tepat untuk lomba lari maraton oleh IAAF, dari pada diadakan siang hari yang superpanas di Qatar.