Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Final Kejuaraan Dunia 1983, ketika Icuk Sugiarto Mengalahkan King

Reporter

Editor

Yudono Yanuar

image-gnews
Icuk Sugiarto dan Liem Swie King (Tempo/Dahlan Rebo Pahing dan Ali Said)
Icuk Sugiarto dan Liem Swie King (Tempo/Dahlan Rebo Pahing dan Ali Said)
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 8 Mei 1983, atau 37 tahun lalu, ribuan penonton yang hadir di Brondby Hallen tak jauh dari ibu kota Denmark Kopenhagen, dipaksa menahan napas kala dua pebulu tangkis Indonesia Icuk Sugiarto dan Liem Swie King bertarung sengit dalam partai final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 1983.

Laga berjuluk All Indonesian Final itu menghiasi banyak laporan media asing.

Dalam Kejuaraan Dunia ketiga itu Icuk Sugiarto, seorang pebulu tangkis muda Indonesia sukses menumbangkan seniornya yang jauh lebih berpengalaman dan bertabur prestasi di kancah internasional, Liem Swie King, dengan skor 15-8, 12-15, 17-16.

Kantor Berita Prancis AFP mencatat partai final tersebut sebagai "pertarungan terbesar dalam bulu tangkis dunia."

Surat sabar Singapura The Straits Time menyebutnya sebagai "pertarungan yang akan masuk dalam sejarah bulu tangkis sebagai salah satu pertandingan terbaik yang pernah ada."

All Indonesian Final tersaji setelah Icuk dan King sukses melewati wakil-wakil Cina, Denmark dan India yang saat itu merupakan kubu-kubu kuat berbagai ajang tepok bulu dunia.

Jagoan Denmark, Morten Frost Hansen, yang kala itu dianggap sebagai pemain terkuat Eropa disingkirkan Icuk di babak perempat final, sementara King menghentikan perlawanan wakil Cina, Chen Changjie.

Lantas di semifinal Icuk bangkit untuk menaklukkan pebulu tangkis top India, Prakash Padukone, 9-15, 15-7, 15-1, sedangkan Han Jian yang menjadi lambang keperkasaan Cina saat itu dibuat tak berkutik oleh King 15-9, 15-3.

Sebagian kalangan menganggap laga Icuk vs King sebagai sebuah antiklimaks lantaran kedua kompatriot itu tampak bermain lebih santai tak seganas di babak-babak sebelumnya.

Namun pertandingan final itu berlangsung satu jam 33 menit, memecahkan rekor durasi, untuk menentukan pemenang sebuah pertandingan satu lawan satu. Durasi yang panjang itu tidak lepas dari penggunaan format lama berupa sistem skor 15, best of three dan deuce at 13 and 14.

King mengambil poin set pertama lewat skor 15-8 dalam 21 menit dan pertarungan berangsur menjadi ketat pada set berikutnya diwarnai rally panjang dan upaya kedua atlet menjaga konsistensi permainan. Sayang, kesalahan yang banyak dilakukan King membuat dia harus melewatkan peluang dan Icuk merebut set kedua 12-15.

Set ketiga berlangsung menegangkan. Icuk dan King terus saling berkejaran-kejaran skor mengundang decak kagum para penonton, terkadang mereka bertepuk tangan panjang atau terhenyak hening karena pertandingan yang berjalan begitu menegangkan.

Pertandingan selesai dan Icuk pun luluh dalam kegembiraan. Ia langsung melompat tinggi dan melempar raketnya, kemudian berlari merangkul King yang masih terpaku di tengah lapangan.

Lawan-lawan yang jadi korban Icuk dan King dalam perjalanan menuju final tak bisa memberi reaksi lain kecuali melemparkan pujian atas pertarungan All Indonesian Final tersebut.

"Ini pertandingan terbaik yang pernah saya lihat. Betul, saya belum pernah melihat partai yang begini hebat," kata Padukone dalam laporan Kompas, 9 Mei 1983.

"Pertandingan tadi menuntut mental yang sangat kuat. Dan begitu seimbang sehingga siapa yang lebih beruntung, dia yang menang. Bayangkan, sampai angka terakhir, kita belum bisa memastikan siapa yang bakal menang," komentar pebulu tangkis Cina Han Jiang soal kedudukan 13-13 dan 14-14 Icuk dan King di set ketiga.

Gelar juara dunia pertama Icuk itu diraihnya dalam usia 20 tahun, membuatnya memecahkan rekor sebagai juara dunia termuda, torehan yang hingga kini belum terpecahkan.

Bagi King, yang sebelumnya sudah menjuarai All England pada 1978, 1979 dan 1981, kekalahan dari Icuk menjadi salah satu momen yang tak akan pernah bisa dilupakan.

Sungguh pantas bagi King menganggap momen kekalahannya itu sebagai catatan getir di sepanjang kariernya. Pasalnya, King adalah pemain tunggal putra terbesar Indonesia setelah Rudy Hartono. Ia juga cukup ditakuti sejak tahun 1976 dan mencatatkan rekor tak terkalahkan selama tahun 1978 dan 1979. Dia juga menjadi salah satu penyokong tiga medali emas di tiga ajang Piala Thomas (1976, 1979, 1984).

“Kekalahan melawan Han Jian sewaktu di Singapura itu cukup menyedihkan. Waktu itu saya hanya kalah satu poin. Juga melawan Icuk Sugiarto di partai final Kejuaraan Dunia 1983 di Copenhagen. Itu pun saya hanya kalah satu poin di set ketiga. Kedua kekalahan ini masih teringat sampai sekarang,” ujar King dalam buku "Sejarah 15 Olahragawan Terpopuler di Indonesia."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Icuk dan King memang bertarung sengit untuk menjadi juara dunia malam itu, tetapi Indonesia-lah pemenangnya. Mereka sukses melanjutkan tongkat estafet kejayaan bulu tangkis Merah Putih, yang kembali melambung tiga tahun sebelumnya ketika memborong empat dari lima nomor Kejuaraan Dunia 1980 di Istora Senayan, Jakarta.

Gaya permainan

Sewaktu masih menjadi bintang di gelanggang, Icuk terkenal sebagai pemain yang memiliki pertahanan kuat, sementara King dikenal dengan tipe permainan menyerang dengan jumping smash sehingga dijuluki King Smash.

Gaya permainan bertahan itulah yang bisa dikatakan membuat Icuk menang melawan para pebulu tangkis papan atas dunia. Kepada Antara di Jakarta, Kamis (7/5), Icuk mengenang bagaimana ia memang telah mempersiapkan untuk bermain panjang di setiap pertandingan di Kejuaraan Dunia kala itu.

"Saya sebelum berangkat memang optimistis bisa karena melalui persiapan yang panjang. Percaya diri saya saat itu memang tinggi," katanya lagi.

Persiapan yang dimaksud adalah menjaga kondisi fisik agar tetap prima. Icuk yang biasanya berlatih dua kali sehari itu mengaku rutin latihan tiga kali dalam sehari demi persiapan ke Kejuaraan Dunia itu.

"Lari 70 kali keliling GBK siang hari, tujuannya untuk kekuatan fisik dan persiapan main panjang," tuturnya.

Apa yang dikatakan Icuk dibuktikannya di atas lapangan Brondby Hallen. Berkat gaya permainan bertahan dan memperpanjang rally selama mungkin, Icuk mampu mengalahkan hampir seluruh raksasa bulutangkis dunia saat itu, tak kecuali pemain kidal China, Yang Yang, Morten Frost Hansen (Denmark), Prakas Pandukone (India), Han Jian (China), dan seniornya, Liem Swie King.

"Itu (bermain panjang) benar-benar terjadi sejak awal pertandingan. Pada saat itu saya bisa skipping rope selama 22 menit tanpa berhenti," kata Icuk.

"Di perempat final tangan berdarah dan saat final lawan King malah sudah bernanah. Tapi saya paksakan," ujarnya menambahkan.

Dengan gaya bermain seperti itu, ia memaksa lawan untuk adu stamina. Jadi ketika lawan menang di set pertama, Icuk bisa menggempur lawannya habis-habisan di set kedua maupun ketiga.

"Dia hanya mengembalikan bola-bola saya tapi saya tidak bisa mematikannya. Benar-benar aneh saya belum mendapat lawan seperti ini," kata Morten Frost Hansen.



Terlalu cepat

Bagi Icuk yang baru muncul di kejuaraan internasional pada tahun 1981 bahkan belum pernah merasakan mengangkat trofi All England, kemenangan di Kejuaraan Dunia itu bagaikan mimpi semalam.

Pasalnya, setelah menjadi juara dunia, prestasi Icuk malah menurun, bahkan sampai titik terendah. Selama dua tahun setelah menjadi juara dunia, Icuk hanya menjuarai beberapa turnamen seperti Piala Dunia (1985), SEA Games (1985, 1987 dan 1989), serta empat kali menjadi anggota tim Thomas Cup (1984, 1986, 1988, 1990).

Pada turnamen Thomas Cup 1984, ia ikut berperan serta membawa Indonesia berhasil merebut kembali supremasi bulu tangkis beregu itu dari juara bertahan China, bersama Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadiayanto, Kartono, Heryanto, Cristian Hadinata, dan Hadibowo.

Sebagaimana dilaporkan dalam buku "Sejarah 15 Olahragawan Terpopuler di Indonesia (1967-1987)", titel juara dunia itu dinilai Icuk terlalu cepat, sebab secara psikologis ia belum siap menerima penghargaan setinggi itu.

“Saya terlalu cepat menjadi juara. Harusnya saya baru mencapai prestasi puncak pada 1984 atau 1985. Nyatanya saya menjadi juara dunia sebelum waktunya,” kata Icuk.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Daftar Film Biopik Atlet Indonesia: Susi Susanti Love All sampai Ellyas Pical

35 hari lalu

Foto poster Serial Ellyas Pical. Foto: Falcon Pictures.
Daftar Film Biopik Atlet Indonesia: Susi Susanti Love All sampai Ellyas Pical

Film biopik jatuh bangun kehidupan atlet terus diproduksi antara lain Susi Susanti Love All dan yang terakhir kisah petinju legendaris, Ellyas Pical.


Jonatan Christie dan Fajar/Rian Cetak Sejarah Baru, Ini Daftar Pemenang All England dari Indonesia

37 hari lalu

Pebulu tangkis tunggal putra Indonesia Jonatan Christie berfoto dengan piala dan medalinya usai mengalahkan kompatriotnya Anthony Sinisuka Ginting dalam final All England Open 2024 di Utilita Arena Birmingham, Inggris, MInggu 17 Maret 2024. Jonatan Christie meraih juara pertama turnamen itu setelah menang dengan 21-15, 21-14. ANTARA FOTO/HO-PBSI
Jonatan Christie dan Fajar/Rian Cetak Sejarah Baru, Ini Daftar Pemenang All England dari Indonesia

Indonesia berkali-kali cetak kemenangan di turnamen badminton All England, terakhir Jonatan Christie di tunggal putra dan Fajar/Rian ganda putra.


Jonatan Christie Kalahkan Anthony Sinisuka Ginting di Final, Simak Daftar Lengkap Juara Tunggal Putra Indonesia di All England

39 hari lalu

Jonatan Christie. Foto: Tim Media PBSI
Jonatan Christie Kalahkan Anthony Sinisuka Ginting di Final, Simak Daftar Lengkap Juara Tunggal Putra Indonesia di All England

Jonatan Christie mengakhiri puasa gelar sektor tunggal putra Indonesia pada turnamen prestisius All England.


Liem Swie King 68 Tahun, Perjalanan Raja Smash yang Legendaris

57 hari lalu

Liem Swie King. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Liem Swie King 68 Tahun, Perjalanan Raja Smash yang Legendaris

Liem Swie King miliki gaya bermain bulu tangkis yang khas. Ia begitu dahsyat dalam memainkan gaya agresif dengan sengatan jumping smash.


Profil Alwi Farhan, Tunggal Putra Pertama Indonesia yang Jadi Juara Dunia Bulu Tangkis Junior 2023

9 Oktober 2023

Kapten Tim Indonesia Alwi Farhan pada Kejuaraan Badminton Junior Asia (BAJC) 2023 usai menjalani latihan di Yogyakarta, Jumat. (ANTARA/HO-PP PBSI)
Profil Alwi Farhan, Tunggal Putra Pertama Indonesia yang Jadi Juara Dunia Bulu Tangkis Junior 2023

Alwi Farhan sudah mulai mengikuti turnamen bulu tangkis di level nasional maupun internasional sejak 2017.


Alwi Farhan Cetak Sejarah di Kejuaaraan Dunia Bulu Tangkis Junior, Ini Para Pemain Indonesia yang Juara Sebelum Dia

9 Oktober 2023

Juara dunia junior, Alwi Farhan, Chiara Marvela Handoyo peraih Medali perak, dan Jonathan Farrell Gosal / Priskila Venus Elsadai di Kejuaraan Dunia Junior. Twitter @INABadminton.
Alwi Farhan Cetak Sejarah di Kejuaaraan Dunia Bulu Tangkis Junior, Ini Para Pemain Indonesia yang Juara Sebelum Dia

Alwi Farhan mencetak sejarah menjadi pemain tunggal putra Indonesia pertama yang merengkuh gelar di Kejuaaraan Dunia Bulu Tangkis Junior.


Rekap Hasil Final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis Junior 2023: Alwi Farhan Raih Gelar Juara dan Cetak Sejarah

9 Oktober 2023

Atlet bulu tangkis Indonesia, Alwi Farhan, berpose setelah menjadi juara dunia junior BWF 2023 di Spokane, Amerika Serikat, pada Minggu waktu setempat, 8 Oktober 2023. Twitter @INABadminton
Rekap Hasil Final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis Junior 2023: Alwi Farhan Raih Gelar Juara dan Cetak Sejarah

Alwi Farhan menjadi tunggal putra Indonesia pertama yang menjuarai Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis Junior 2023.


26 Tahun Jonatan Christie, Atlet Bulu Tangkis Pernah Terima Satyalancana dari SBY

15 September 2023

Pebulutangkis putra Indonesia Jonatan Christie berselebrasi setelah mendapatkan poin saat melawan wakil Taiwan, Wang Tzu Wei dalam babak kedua Daihatsu Indonesia Masters 2020 di Istora Senayan, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020. Jonatan menyusul langkah Anthony Sinisuka Ginting ke babak perempat final Indonesia Masters 2020. TEMPO/M Taufan Rengganis
26 Tahun Jonatan Christie, Atlet Bulu Tangkis Pernah Terima Satyalancana dari SBY

Jonatan Christie hari ini berusia 26 tahun. Berikut profil dan sederet prestasinya, termasuk pernah mendapat anugerah Satyalancana dari SBY.


Indonesia Tak Bisa Raih Gelar di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2023, Ini Evaluasi Kabid Binpres PP PBSI

28 Agustus 2023

Kabid Binpres PBSI Rionny Mainaky saat ditemui di Pelatnas PBSI, Cipayung, Jakarta Timur, Senin, 14 Agustus 2023. TEMPO/Randy
Indonesia Tak Bisa Raih Gelar di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2023, Ini Evaluasi Kabid Binpres PP PBSI

Kabid Binpres PP PBSI, Rionny Mainaky, mengungkapkan sejumlah catatan dari evaluasi pemain Indonesia di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2023.


Jadi Runner-up di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2023, Apriyani / Fadia Jadikan Turnamen Ini sebagai Pembelajaran

27 Agustus 2023

Foto podium ganda putri Indonesia Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2023 di Kopenhagen, Denmark, Minggu, 27 Agustus 2023. kreditnya: Tim Media PBSI
Jadi Runner-up di Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2023, Apriyani / Fadia Jadikan Turnamen Ini sebagai Pembelajaran

Apriyani / Fadia takluk menghadapi pasangan Cina peringkat satu dunia Chen Qing Chen / Jia Yi Fan di final Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2023, Minggu.