TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menyatakan pebulu tangkis Taufik Hidayat saat menjabat Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) menjadi perantara penerimaan gratifikasi untuk Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi.
"Dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa pada bulan Januari 2017, Tommy Suhartono selaku Direktur Perencanaan dan Anggaran Program Satlak PRIMA meminta uang sejumlah Rp1 miliar kepada Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) pada Program Satlak PRIMA Kemenpora RI untuk keperluan terdakwa Imam Nahrawi selaku Menpora yang diminta untuk diserahkan kepada Taufik Hidayat yang pada saat itu menjabat sebagai staf khusus Menpora," kata Jaksa KPK Budhi Sarumpaet saat membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat, 12 Juni 2020.
Sidang dilakukan melalui sarana video conference, Imam Nahrawi berada di Gedung KPK, sementara jaksa, majelis hakim, dan sebagian penasihat hukum berada di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Atas permintaan tersebut selanjutnya Ucok mengambil uang tunai sejumlah Rp1 miliar yang berasal dari anggaran akomodasi atlet Program Satlak PRIMA. Selanjutnya, uang tersebut diserahkan kepada Taufik Hidayat melalui Reiki Mamesah di rumah Taufik Hidayat, Jalan Wijaya, Kebayoran Baru," kata jaksa.
Selanjutnya, Tommy Suhartono menghubungi Taufik dan mengatakan bahwa akan ada asisten pribadi Imam, Miftahul Ulum yang akan mengambil uang titipan itu.
"Di dalam persidangan, Miftahul Ulum tidak mengakui pernah menerima Rp1 miliar dari Taufik Hidayat. Namun, penuntut umum berpendapat hal tersebut hanya merupakan upaya dari Miftahul Ulum untuk menyembunyikan perbuatan terdakwa Imam," kata jaksa.
Penyebabnya, keterangan Tommy, Ucok, Reiki dan Taufik walau masing-masing keterangan yang berdiri sendiri namun saling berhubungan dan membenarkan adanya penerimaan uang oleh Imam.
"Dengan demikian, keterangan Ulum yang tidak mengakui telah mengambil uang Rp1 miliar dari Taufik di rumahnya adalah keterangan yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti sah lainnya. Oleh karenanya sudah sepatutnya untuk dikesampingkan," kata jaksa.
Dalam perkara ini, Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp19,154 miliar dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.
Jaksa KPK menilai Imam Nahrawi bersama-sama dengan Miftahul Ulum terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar.
Ulum dituntut 9 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menjadi operator lapangan aktif penerimaan suap dan gratifikasi.
Atas tuntutan terhadap Imam tersebut, penasihat hukum Imam Wa Ode Nur Zainab menyatakan surat tuntutan tidak sesuai dengan fakta hukum.
Miftahul Ulum dalam sidang putusan Senin, 15 Juni 2020, divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan karena dinilai terbukti sebagai perantara aktif penerimaan suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar.
Taufik Hidayat mengaku kapok masuk dalam struktur pemerintahan di Satlak Prima periode 2016-2017, sehingga ikut terseret kasus dugaan korupsi mantan Menpora Imam Nahrawi.
"Gue disuruh ngantar barang ke Pak Imam. Kirain buat bantuan, mungkin ucapan terima kasih. Gue kan gak tahu. Gue gak berpikir buat sogokan," kata Taufik saat menjadi tamu podcast Deddy Corbuzier yang tayang pada Senin, 11 Mei 2020.