TEMPO Interaktif, Jakarta:Stadion Bea-Cukai di kawasan Rawamangun selalu ramah kepada Saut Lumban Tobing. Saban hari dia duduk menikmati hari di sana. Duduk di tepi stadion, mencecap matahari sore, sembari melihat anak didiknya berlatih, adalah kenikmatan hidup yang tak tertandingi bagi Saut.
"Di sinilah saya merasa hidup. Sehari tidak ke lapangan sepak bola seperti kehilangan umur," katanya. "Bisa jadi ini pemandangan terindah dalam hidup saya," katanya.
Sesekali lelaki berusia 46 tahun itu berjalan menuju lapangan. Langkahnya masih gagah. Dia seperti mencium bau rumput basah di sana. Dia terlihat sangat begitu bahagia, bahagia berada di tempat dia memulai "hidupnya".
Lalu kenangan akan masa silam pun melayang. Dia adalah mantan penyerang tim nasional. Saut lahir dan dibesarkan di Sorkam, Tapanuli Tengah. Saut kecil sudah mencintai sepak bola, yang kemudian cepat mengalir dalam darah dan jiwanya. Dia nekat bermain sepak bola meskipun orang tuanya melarang. "Seperti bawaan lahir saja, mungkin karena tanda ini," katanya sambil menunjuk tanda hitam pada mata kaki kanannya.
Keinginan kedua orang tuanya, Saut menjadi pegawai negeri. Mereka tak ingin kelak melihat anaknya telantar. Sang ibu bahkan pernah membuang sepatu sepak bola Saut agar dia berhenti bermain bola.
Namun, Saut kecil tidak pernah putus asa. Dia tetap bermain sepak bola meski tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dia bahkan pernah tidak naik kelas dua kali akibat terlalu keranjingan sepak bola. Ini tentu saja membuat orang tuanya marah besar.
Kenekatan Saut dibuktikan saat ia lulus SMA. Ibunya menyuruh Saut menyusul kakak-kakaknya yang telah lebih dulu merantau ke Jakarta. Alih-alih mencari pekerjaan, Saut malah mendaftarkan diri sebagai pemain di klub Angkasa. Di klub itulah kemudian Saut berjuang hidup dengan bermain sepak bola. "Waktu pertama-tama di Jakarta, setiap malam saya menangis karena ingat Ibu."
Saut berhenti menangis setelah dia merasa bisa menghidupi diri sendiri lewat sepak bola. Bahkan dia sudah mampu mengirim uang untuk ibunda tercinta di kampung. Dari sepak bola, kemudian Saut sukses sebagai anak rantau, bahkan melebihi keempat kakaknya. "Dari hasil bermain bola, saya bisa membahagiakan Ibu."
Bagi Saut, sepak bola adalah tempat dia menumpahkan perasaan. Setiap turun ke lapangan, Saut menari-nari di sana. "Di lapangan, kita harus bisa menari seindah mungkin sampai penonton bertepuk tangan melihat permainan kita," ujarnya.
Saut terpaksa berhenti "menari" ketika dia mengalami patah kaki ketika memperkuat Kramayudha Tiga Berlian melawan South China di ajang antarklub Asia, yang berlangsung di Hong Kong, 1987. Hari itu adalah hari paling gelap dalam hidupnya. Sejak itu, Saut harus berhenti dalam waktu lama menjadi penari dan menari-nari di lapangan. Dua tahun kemudian, Saut gantung sepatu dan kembali ke kampung halamannya.
Di Medan, Sumatera Utara, Saut menjadi orang yang begitu aneh dan berbeda ketika dia masih menjadi pemain. Dia frustrasi. Dia harus berpisah dengan lapangan sepak bola. Dia mulai menjadi perokok berat. "Saya begitu sedih dan terasa menyakitkan harus berpisah dengan lapangan bola, perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata."
Dia tahu, hidup harus terus berjalan. Saut pun mulai memikirkan langkah ke depan dan bangkit dari keterpurukan. Berbagai profesi dia coba. Juga tiga kali mencoba bekerja sebagai orang kantoran. Tapi, katanya, "Saya tersiksa sekali."
Setelah sepuluh tahun bekerja sebagai manajer sebuah hotel di Medan, Saut keluar dari pekerjaan itu dan memutuskan kembali ke lapangan. Dia kembali ke lapangan sepak bola yang lama ditinggalkan. "Hidup saya terasa tenang, hati saya tenteram. Biarpun hasil sedikit, saya puas," katanya.
Saut masih bisa menari-nari di lapangan, sekalipun hanya sebagai pelatih.
Fanny Febyanti
BIODATA
Nama: Saut Lumban Tobing
Tempat, tanggal lahir: Sorkam, 25 Januari 1962
Istri: Ranggawarsita Hutagalung
Anak: Andreano L. Tobing, Nadya L. Tobing, Bonita L. Tobing
Klub:
Angkasa (1979-1980)
UMS 80 (1980-1984)
Kramayudha Tiga Berlian (1984-1987)
Tim Nasional:
SEA Games 1987
Piala Kemerdekaan 1987
Merdeka Games 1987
Pelatih:
Diklat Tunggal Medan (1996-1997)
Persijatim U-18 (2003)
Asisten Tim Nasional U-15 (2004)
Porda Jakarta Timur (2005)
Bina Taruna (2007-sekarang)