Pemain berusia 29 tahun itu menjadi nomor satu dunia mengungguli salah satu pemain papan atas asal Cina, Lu Lan, setelah menunjukkan penampilan memukau di dua kejuaraan Super Series di Denmark dan Prancis bulan silam.
"Saya bukan pemain yang berusia muda lagi dan masa kejayaan saya sudah berlalu,” kata Zhou seperti yang dikutip South China Morning Post, Rabu (5/11). “Namun, merangkak dari peringkat di luar 200 dunia menjadi ke nomor satu di usia seperti saya, bagaimanapun, itu merupakan sebuah keajaiban.”
Ia melanjutkan, kendati pun peringkat satu dunia tidak mendapat kalungan medali emas atau gelar juara dunia, namun hal itu merupakan pengakuan atas usaha dan kerja keras yang telah ia lakukan selama 18 bulan silam. “Tentu saja ini akan menaikkan rasa percaya diri saya,” ujar Zhou, yang pernah menduduki takhta nomor satu dunia pada 2002 dan 2004 ketika masih bermain untuk Cina.
Setelah didepak dari tim nasional Cina pada 2005 seiring cidera lutut yang ia derita, Zhou hijrah ke Hong Kong pada awal 2006. "Menjadi nomor satu dunia saat menjadi anggota tim nasional tak berarti apa-apa karena saat itu Cina merupakan pasukan yang sangat mendominasi perbulutangkisan dunia,” katanya.
Menjadi pemain tim nasional Cina, menurut dia, berarti memiliki segudang pemain terbaik di sekitar Anda, mitra tanding terbaik yang melimpah, dan dukungan fasilitas nomor wahid. Namun perlakuan itu tidak mungkin ia dapatkan dari Hong Kong, dan Zhou harus mengeluarkan 110 persen usahanya untuk mencapai hal tersebut. "Saya sekarang sangat menikmati olah raga ini karena tingkat tekanan yang berkurang dibandingkan ketika masih berada di tim nasional Cina,” ujarnya.
Seiring meningkatnya performa, Zhou dengan percaya diri menatap kejuaraan dunia yang dijadwalkan berlangsung tahun depan di India. "Saya kalah di final kejuaraan dunia pada 2001 dan semifinal pada 2003. Pada 2005 ketika mewakili Cina untuk terakhir kalinya, saya malah gugur di babak pertama,” tutur dia pada koran itu.
Bobby Chandra