TEMPO.CO, Jakarta - Greysia Polii, bersama Apriyani Rahayu, sukses merebut medali emas di Olimpiade Tokyo 2020. Pelatih bulu tangkis nomor ganda putri Chafidz Yusuf menyebutkan Greysia berhasil mengubah gaya bermainnya jika dibandingkan dengan keikutsertaannya di Olimpiade London 2012 dan Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Menurut dia, penampilan di Tokyo menunjukkan Greysia telah menjelma sebagai pemain yang matang secara mental. "Kalau dulu itu, Greysia menganggap diri levelnya hampir dengan pemain dunia lainnya. Dulu juga menganggap dirinya itu mainnya dengan mengandalkan powernya, mengandalkan fisiknya," kata Chafidz di Jakarta pada Selasa, 3 Agustus 2021.
Perubahan besar gaya bermain Greysia telah terjadi sejak berpasangan dengan Apriyani Rahayu pada 2017. Greysia menjadi pemain yang lebih tenang secara mental. "Dia bisa menempatkan diri bahwa dia harus bisa main tanpa beban," ujar dia.
Chafidz menyebutkan, pada turnamen besar seperti Olimpiade, keberhasilan seorang pemain harus bisa melawan diri sendiri. Greysia pun telah berhasil dengan bermain tanpa beban sepanjang gelaran olimpiade. "Itu perbedaannya," ucap dia.
Perubahan lain, kata Chafidz, sosok Greysia adalah panutan bagi pemain junior di Pelatnas Bulu Tangkis Cipayung. Peranan Greysia telah membimbing pemain ganda putri secara teknis maupun non teknis. "Greys bisa memberikan pelajaran berdasarkan pengalamannya yang ada," kata dia.
Sosok Greysia yang pengayom, kata Chafidz lagi, bisa padu dengan karakter Apriyani yang penurut. Menurut dia, Apriyani adalah tipe pendengar yang baik. "Apriyani itu nurut. Baik sama Greys, baik sama arahan pelatih. Makanya dia bisa menerapkan semua kemampuan, bisa mengeluarkan seluruh kemampuan dari arahan yang diterima," ucap Chafidz.
Chafidz pun berterima kasih kepada Greysia Polii yang telah memberi warna tersendiri di Pelatnas. Sosok yang telah menghidupkan interaksi keseharian dengan cara kekeluargaan. "Greys itu panutan dalam kerja keras, kalau waktunya serius harus serius, pada saatnya harus santai ya harus santai, rileks ya rileks, saatnya rileks ya rileks, selalu menanamkan rasa hormat, dia mengajarkan banyak hal ke juniornya," kata dia.
Keberhasilan merebut medali emas membuat pemain 33 tahun itu telah merasakan pahit dan manisnya Olimpiade. Sembilan tahun lalu, ia diskualifikasi dari ajang empat tahunan itu. Berpasangan dengan Meiliana Jauhari, ia didiskualifikasi karena dianggap melanggar kode etik. Keduanya dinilai sengaja mengalah dalam pertandingan di babak Grup C menghadapi wakil Korea Selatan, Ha Jung Eun / Kim Min Jung.
Kekalahan di laga itu itu dianggap disengaja agar mereka tidak bertemu dengan ganda putri Cina, Wang Xiaoli / Yu Yang di babak perempat final. Mereka kemudian didiskualifikasi badan bulu tangkis dunia, BWF.
Di edisi Olimpiade selanjutnya, Rio 2016, nasib baik juga tidak memihak Greysia Polii. Berpasangan dengan Nitya Krishinda Maheswari, Greysia tersingkir di babak perempat final karena dikalahkan pasangan Cina, Yu Yang/Tang Yuanting, dalam dua set langsung 11-21, 14-21. Seusai Olimpiade 2016, Nitya mengalami cedera serius dan harus pensiun. Hal itu ikut mempengaruhi Greysia Polii sehingga dia sempat berpikir untuk berhenti.
Akan tetapi, Eng Hian, sang pelatih, membujuknya untuk tetap bermain. Bujukan juga datang dari keluarga Greysia. Kala itulah, tepatnya mulai 2017, dia dipasangkan dengan Apriyani Rahayu. "Pada 2017 saya di tim nasional dan ingin keluar ketika pasangan saya (Maheswari) cedera dan harus menjalani operasi. Tapi pelatih berkata tunggu sebentar dan bantulah pemain muda untuk bersinar dan dia (Apriyani) datang," kata dia.
Kemudian, ia menyadari bahwa harapan masih terbuka ketika bersama Apriyani mampu merebut gelar juara Thailand Open dan Prancis Open pada 2017. "Saya seperti, Ya Tuhan, saya harus berjuang untuk empat tahun lagi (Olimpiade)," kata Greysia Polii. Perjuangan itu menuai hasil ketika emas berhasil digenggam di Tokyo.
Baca juga : Ini Alasan Eng Hian Pasangkan Apriyani Rahayu dengan Greysia Polii