TEMPO.CO, Jakarta - Dengan padamnya api Olimpiade Tokyo 2020 pada upacara penutupan Minggu malam, 8 Agustus 2021, ajang olahraga multicabang itu resmi berakhir. Begitu banyak teladan mengenai keberanian, keterampilan luar biasa, sportivitas dan emosi, sesuai dengan moto Olimpiade yang baru: Citius, Altius, Fortius - Together, atau "Lebih Cepat, Lebih Tinggi, Lebih Kuat - Bersama"
Panitia penyelenggara, melalui situs Olympics, meringkas sembilan momen tak terlupakang sepanjang Olimpiade. Berikut daftarnya.
1. Mundurnya Simone Biles
Salah satu daya tarik kompetisi senam Tokyo 2020 adalah Simone Biles, pesenam Amerika Serikat yang paling banyak mendapatkan medali. Namun, perempuan berusia 24 tahun itu mengundurkan diri dari final beregu karena tak ingin membahayakan timnya.
Dia kemudian mundur dari tiga final nomor alat perseorangan dalam rangka fokus ke pada kesehatan mentalnya. Keputusan ini mendapat dukungan luas dari para penggemar dan sesama atlet dari seluruh dunia.
Namun lewat mental baja dan keberanian yang luar biasa, Biles masuk lagi kompetisi untuk ambil bagian dalam final balok keseimbangan. Di situ, ia merebut medali perunggu yang merupakan medali Olimpiade ketujuh selama karirnya.
Simone Biles merebut medali perunggu Olimpiade Tokyo. REUTERS/Mike Blake
"(Perunggu ini) lebih berarti dari semua medali emas karena saya telah melalui begitu banyak hal selama lima tahun terakhir dan pekan terakhir saat saya bahkan berada di sini," kata dia. "Pada akhirnya kita bukan cuma hiburan. Kita juga manusia."
2. Elaine Thompson-Herah mencetak sejarah Olimpiade
Sebelum Tokyo 2020, tidak ada perempuan yang berhasil mempertahankan gelar juara lari 100m dan 200m putri berturut-turut. Namun Elaine Thompson-Herah bukan atlet sembarangan.
Sprinter Jamaika yang memenangkan emas kedua nomor itu dalam Olimpiade Rio 2016 itu menyabet medali emas keduanya dalam nomor 100m pada 31 Juli dengan catatan 10,61 detik sehingga memecahkan rekor Olimpiade 10,62 detik yang dipegang ikon Amerika Serikat Florence Griffith Joyner yang sudah 33 tahun tak terpecahkan yang tercipta di Seoul 1988. Catatan waktu itu juga melesatkan dia ke tempat kedua dalam daftar pelari tercepat kedua sepanjang masa di belakang Griffith Joyner.
Tiga hari kemudian, Thompson-Herah kembali mengguncang Stadion Olimpiade ketika merebut medali emas 200m putri dengan menorehkan waktu 21,53 detik yang hanya 0,19 detik lebih lama dari rekor dunia yang juga rekor Olimpiade yang juga dipegang Florence Grifith Joyner.
Saat menuju ke sana, Thompson-Herah mengukuhkan statusnya sebagai ratu sprint tak tergoyahkan dengan menjadi wanita pertama yang memenangkan dua emas 100 dan 200m putri Olimpiade dua kali berturut-turut. "Ya tuhan sungguh hebat yang saya alami hari ini. Bahwa saya bisa menuntaskan emas ganda lagi. Saya tak percaya ini," kata dia.
3. Mutaz Barshim dan Gianmarco Tamberi memutushkan berbagi emas lompat tinggi
Pada akhir final lompat tinggi Olimpiade yang dramatis, atlet Qatar Mutaz Barshim dan atlet Italia Gianmarco Tamberi memilih berbagi medali emas ketimbang melanjutkan dengan lompatan guna menentukan siapa pemenang nomor ini.
Kedua atlet, juga atlet Belarus Maksim Nedasekau, sebelumnya sudah membuat lompatan setinggi 2,37 meter, tetapi saat mistar dinaikkan ke 2,39 meter sehingga menjadi rekor Olimpiade baru jika berhasil dilewati, tak seorang pun dari ketiga pelompat tinggi putra itu yang mampu melewati tinggi lompatan tersebut.
Jadi, alih-alih meneruskan lomba, Barshim bertanya kepada seorang ofisial, 'Bisakah kita punya dua pemenang emas?'. Ofisial itu setuju, dan Tamberi melompat memeluk Barshim dalam suasana gembira sejati begitu mengetahui bahwa dia dan teman baiknya itu dinobatkan sebagai juara bersama. Nedasekau sendiri dianugerahi medali perunggu.