TEMPO.CO, Jakarta - Olimpiade merupakan hajat olahraga terbesar di dunia. Bebagai cabang olahraga rutin dipertandingkan dalam gelaran Olimpiade. Dalam sejarahnya, ternyata dahulu perempuan sempat tidak diperkenankan untuk ikut serta dalam kompetisi yang sudah diadakan sejak masa sebelum masehi tersebut.
Neil Faulkner dalam A Visitor’s Guide to the Ancient Olympics menyebut pada masa Olimpiade kuno 776 SM-393 M, bahkan untuk sekadar menonton pun perempuan dilarang, kecuali bagi biarawati Demeter. Hukuman mati akan diberikan bagi mereka yang melanggar.
Melansir buku Glimpes of Woman in Sport, tatkala Olimpiade modern pertama akan digelar pada 1896 di Athena, salah satu penggagasnya, Baron Pierre de Coubertin tetap membawa kultur tersebut. Ia menganggap perempuan tidak layak disertakan pada cabang olahraga manapun karena alasan biologis.
Pada edisi Olimpiade selanjutnya, Baron mesti sedikit menurunkan egonya berkat desakan sejumlah negara. Pada Olimpiade Paris 1900, akhirnya 22 atlet perempuan dapat mengikuti kompetisi dalam sejumlah cabang. Meski demikian, beberapa cabang favorit seperti atletik dan akuatik belum mengizinkan perempuan untuk turut serta.
Jumlah atlet perempuan sempat menyusut menjadi hanya enam orang pada Olimpiade St. Louis 1904. Jumlah yang sangat sedikit mengingat atlet pria berjumlah 645. Pada dua edisi berikutnya jumlah atlet perempuan kembali naik masing-masing 37 dan 47 atlet.
Memasuki 1920-an awal, keikutsertaan perempuan ternyata masih jadi perdebatan dari para petinggi Komite Olimpiade Internasional (IOC). Upaya Alice Milliat, pendiri La Federation Sportive Feminine Internationale (FSFI) memperjuangkan atlet putri untuk dapat diikutsertakan di cabang atletik kerap tidak diacuhkan.
Hal itu membuat FSFI mengadakan Olimpiade sendiri khusus untuk perempuan yang digelar berturut-turut dari 1921 hingga 1924. Seiring waktu, Olimpiade tandingan itu pun membuat para petinggi IAAF dan IOC luluh. Pada Olimpiade Amsterdam 1928, atlet putri diperkenankan mengikuti cabang atletik dan senam. Ada 95 atlet putri yang bersaing di lima nomor cabang atletik.
Pada 1940-an, tepatnya usai Perang Dunia II, secara bertahap IOC memberi kesempatan yang lebih besar untuk atlet putri. Cabang-cabang olahraga baru yang diadakan seperti bulutangkis dan sepakbola memperbolehkan atlet putri untuk turut serta.
Melansir laman resmi IOC, pada pergelaran terakhir, yakni Olimpiade Tokyo 2020, tercatat jumlah atlet perempuan mencapai 48,8 persen dari keseluruhan atlet yang bertanding.
HATTA MUARABAGJA
Baca: 4 Atlet Wanita di Olimpiade Tokyo yang Berpendidikan Tinggi
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.