Nasir, 50 tahun, adalah mantan pemain nasional. Bersama antara lain Herry Kiswanto, Hadi Ismanto, Dede Sulaiman, dan Abdurahman Gurning, Nasir ikut membela tim nasional pada Pra-Piala Dunia 1982 Spanyol. Meski sudah tidak lagi menjadi pemain, dia harus tetap bugar. Selain berlari-lari kecil di stadion itu, Nasir masih aktif bermain sepak bola bersama teman-temannya. "Main santai dan ternyata saya masih bisa nendang bola."
Sepak bola memang telah menjadi bagian dari hidup mantan gelandang tim nasional itu. Sejak kanak-kanak, di Pare-Pare, di tanah kelahirannya, Nasir sudah mengenal sepak bola dari orang-orang yang bermain di lapangan dekat rumahnya. Nasir kecil pun mulai ikut-ikutan. Setiap ada waktu dan ada peluang, dia ikut main. Ini dia lakukan hampir setiap sore sepulang sekolah.
Kemudian Nasir berminat mendaftar masuk klub sepak bola. "Hanya klub kecil di kampung, saya lebih banyak belajar otodidak," katanya. Perlahan, permainan Nasir mulai terasah. Dia pun berani mengikuti seleksi mengikuti kejuaraan antarsekolah. "Kelas III SMP saya sudah ikut kejuaraan daerah," kata Nasir. Bahkan di bangku sekolah menengah atas, Nasir sudah masuk tim Persipare.
Ternyata keluarga Nasir tidak mendukung. Orang tuanya lebih suka jika Nasir membantu keluarga di ladang. Waktu itu, menurut Nasir, banyak orang yang beranggapan jadi pemain sepak bola hidupnya bakal susah dan tidak menjamin masa depan. Tak jarang Nasir dimarahi ayahnya jika ketahuan bermain sepak bola. "Tapi saya tetap main meski diam-diam."
Setamat SMA, Nasir memberanikan diri berangkat ke Makassar. Waktu itu dia mendengar kabar ada seleksi untuk masuk tim PSM Makassar (dulu PSM Ujungpandang). "PSM itu tim besar, banyak yang mau masuk ke sana," ujarnya. Dengan keahliannya sebagai pemain belakang yang tangguh, Nasir lolos seleksi. Nasir kemudian membatalkan rencananya meneruskan sekolah dan memilih berkonsentrasi bermain sepak bola. "Itulah awal saya bermain bola profesional," kata Nasir, pengagum Oyong Liza dan Suaeb Rizal, dua pemain nasional generasi sebelum Nasir.
Bersama PSM, Nasir berkeliling daerah untuk mengikuti berbagai kejuaraan. Sebagai salah satu pilar Juku Eja, julukan PSM, Nasir berkesempatan menghadapi tim-tim elite Perserikatan, yaitu Persib Bandung, Persebaya Surabaya, PSMS Medan, dan Persija Jakarta. "Ketika PSM bertemu dengan Persija di Stadion Utama Senayan (kini Stadion Gelora Bung Karno), saya terkaget-kaget, penonton penuh hingga pinggir lapangan," kata Nasir.
Perjuangan Nasir bermain sepak bola mulai membuahkan hasil. Dia mendapatkan penghargaan sebagai pemain terbaik dalam turnamen Piala Yusuf di Makassar pada 1979. "Itu pertama kalinya saya main di PSM dan langsung dapat penghargaan." Karena prestasinya itu, Nasir kemudian dipanggil masuk tim nasional. "Saya sempat ikut pelatihan di Brasil selama hampir satu tahun."
Di klub dan tim nasional, Nasir dikenal sebagai pemain yang biasa bermain keras. "Tapi saya bukan pemain brutal, saya tahu aturan," ujarnya. Karena itulah, sepanjang kariernya, Nasir tidak pernah mendapatkan kartu merah. Selama berkarir sebagai pemain, Nasir juga membuktikan diri bisa mencetak gol meski posisinya adalah pemain belakang. "Saya sering ikut naik menyerang."
Setelah tiga tahun bermain untuk PSM, pada 1981 dia hijrah ke UMS 80. Dua tahun kemudian Nasir pindah ke Kramayudha Tiga Berlian. Meski hanya setahun di klub milik Syarnubi Said itu, Nasir sempat mengecap persaingan sepak bola Asia ketika ikut membawa Kramayudha menduduki peringkat ketiga antarklub Asia di Arab Saudi.
Bersama Rully Nere, Ronny Pattinasarany, Subangkit, Bambang Nurdiansyah, dan sejumlah pemain seangkatannya, Nasir ikut membela Indonesia di berbagai ajang internasional hingga akhirnya dia berhenti ketika berada di puncak karier pada 1987. "Saya mengundurkan diri dari tim nasional," ujarnya. Meski sudah tidak berlaga untuk tim nasional, Nasir masih terus bermain untuk klubnya, Pelita Jaya, hingga pensiun pada tahun yang sama."Saya meneruskan sekolah yang sempat tertunda," ujarnya.
Nasir akhirnya bisa membuktikan diri bisa mandiri dari hasil bermain sepak bola. Ditambah lagi, selain tim nasional, Nasir selalu bermain di klub yang tergolong mapan. Selain gaji, dia sering menerima bonus penghasilan, baik dari tim nasional maupun klub. "Saya bisa menghidupi keluarga," katanya. Dari hasil sepak bola, Nasir memiliki sebuah rumah di Rawamangun, yang ditempati bersama istri serta anak-anaknya.
Setelah pensiun sebagai pemain, Nasir sempat bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Namun, akhirnya dia berhenti dan memilih berwiraswasta bersama rekan-rekannya. "Usaha di bidang distribusi buku dan komputer, ada juga usaha bidang batu bara," ujarnya.
Kini Nasir masih tercatat sebagai pelatih PSTK Tarakan, klub berjulukan Laskar Paguntaka, di Kalimantan Timur. Jika tidak ada jadwal pertandingan, dia kembali ke Jakarta dan setiap Sabtu pagi ke Stadion Pemuda Rawamangun, dekat rumahnya. "Saya harus bugar dan dengan kebugaran saya tetap dekat dengan sepak bola," kata Nasir.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Nama : Nasir Salassa
Tempat, tanggal lahir : Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 18 April 1959
Karier pemain:
Persipare Pare-Pare (1975-1977)
PSM Makassar (1978-1980)
UMS 80 (1981-1983)
Kramayudha Tiga Berlian (1983-1984)
Pelita Jaya (1984-1987)
Tim nasional (1980-1987)
Karir pelatih:
Persijatim (2002)
PS Kabupaten Tapin (2005)
Kendari Utama (2006)
PS Kabupaten Tapin (2007)
PSTK Tarakan (2008)