TEMPO.CO, Jakarta - Perdebatan tentang siapa petenis terhebat sepanjang masa tidak akan berhenti setelah Roger Federer memutuskan gantung raket. Statistik menunjukkan bahwa maestro tenis asal Swiss kalah dari rivalnya, Rafael Nadal dan Novak Djokovic, dalam beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan kehebatan.
Federer, di usia 36 tahun, berhasil memenangkan gelar Grand Slam tunggal putra ke-20 di Australia Open 2018. Namun, itu menjadi gelar terakhirnya. Ia harus rela menyaksikan Nadal mempertajam rekor dengan torehan 22 gelar, sedangkan Djokovic menyalipnya dengan koleksi 21 gelar Grand Slam.
Akan tetapi, sejumlah kalangan menyebutkan capaian Nadal dan Djokovic tidak mungkin ada apabila Federer menetapkan standar tinggi di arena tenis dunia. Atlet kelahiran Basel ini berhasil mengubah olahraga tenis menjadi bentuk seni yang lebih tinggi yang sering kali menantang imajinasi.
Bagi Federer, kemenangan hanya bagian kecil dari permainan tenisnya. Lebih dari dua dekade, ia mencatatkan 1.251 kemenangan dan tingkat keberhasilan 82 persen. Namun, ia tidak hanya mengalahkan lawan, tetapi juga membuat para penggemarnya terpesona dengan sihir permainannya. Ia adalah legenda.
Permainannya memancarkan keanggunan. Ayunan groundstroke-nya tepat dan halus, kekuatannya nyaris effortless alias tanpa usaha, dan gerakannya penuh dengan keanggunan yang meledak-ledak. Itu terjawab saat Federer merebut gelar tunggal putra di Wimbledon 1998. Tiga tahun kemudian, ia berhasil mengalahkan idolanya yang juga Raja Wimbledon Pete Sampras di Centre Court untuk menembus babak perempat final.
Petenis Australia Mark Philippoussis menjadi korban kegarangan Federer saat merebut gelar pertama di ajang Wimbledon. Saat itu, petenis yang kini berusia 41 tahun, hanya kehilangan satu set selama dua minggu gelaran turnamen.
Penulis olahraga asal Inggris, Simon Barnes, menggambarkan Federer sebagai Harry Potter di olahraga tenis. Bahkan, ia menggambarkan raket Federer berasal dari toko yang sama dengan Harry Potter membeli tongkatnya. "Bukan karena Federer membuat tenis seindah dulu. Ia membuatnya lebih indah dari sebelumnya. Bukan itu tujuan yang ia cari: keindahan hanyalah metode yang ia gunakan untuk memenangkan pertandingan tenis," kata Barnes dikutip dari Reuters.
Dominasi Roger Federer
Setelah merebut gelar pertama, Federer tampil mendominasi di arena tenis dunia.
Pada 2004 ia memenangkan Australia Terbuka dan mempertahankan gelar Wimbledon dan memenangkan AS Terbuka. Pada 2005 ia menyelesaikan hat-trick Wimbledon dan memastikan gelar AS Terbuka kedua berturut-turut.
Federer mencapai nomor satu di dunia pada tahun 2004 dan bertahan selama 237 minggu. Dia mempertahankan dominasinya pada tahun 2006. Ancaman baru muncul lewat kehadiran Nadal, pemain yang lihai di lapangan tanah liat Roland Garros. Oleh Nadal, dominasi Federer mulai goyah ketika menyerah di final French Open dan Wimbledon 2008.
Dua partai final itu dianggap menjadi partai final terbaik dalam sejarah Grand Slam. Dengan beberapa cedera, kiprah Federer mulai memudar. Namun, setahun kemudian ia mengklaim gelar Prancis Terbuka pertamanya untuk melengkapi koleksi gelar Grand Slam dalam kariernya.
Namun di balik semua keanggunan dan seni, Federer memiliki semangat juang yang hampir tak tertandingi dalam sejarah olahraga tenis. Ia bangkit menghadapi tantangan yang diberikan oleh Nadal dan Djokovic sebagai persaingan paling menarik satu dekade terakhir.
Federer menghadapi Nadal 40 kali dan hanya menang 16 kali. Ia berduel dengan Djokovic sebanyak 50 kali dengan rekor menang-kalah 27-23. Apa pun statistiknya, pengaruh Federer terhadap tenis, di dalam dan di luar lapangan, belum pernah terjadi sebelumnya.
Penampilan kompetitif terakhirnya terjadi di Wimbledon 2021. Ia harus mengakui keunggulan Hubert Hurkacz ketika kehilangan set terakhir 6-0. Itu adalah kekalahan yang menandai akhir karier Grand Slamnya dan pertandingan tersebut terbukti menjadi pertandingan terakhir dalam karir Federer.
Diliputi oleh cedera, Federer berbicara tentang keinginannya untuk kembali berkompetisi di Wimbledon 2022. Ia ingin menandai peringatan 100 tahun Centre Court, lapangan rumput persegi panjang yang menjadi panggung favoritnya. Namun, itu pun tidak terjadi.
Kisah Roger Federer berakhir, tetapi warisan untuk tenis dunia tidak akan pernah pudar. "Beberapa atlet telah melampaui bidang mereka dengan cara seperti itu. Dia mendefinisikan kembali kehebatan di lapangan," kata Ketua Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach.
Baca juga : Roger Federer Pensiun, Berikut Perjalanannya ke Puncak Arena Tenis Dunia