TEMPO Interaktif, Jakarta: Juara bulu tangkis Indonesia Terbuka, Saina Nehwal asal India, bisa berprestasi bagus karena ayahnya rela menghabiskan separuh gajinya yang sudah pas-pasan untuk membiayai latihan.
Saina, peringkat tujuh dunia yang baru berusia 19 tahun, mengalahkan peringkat tiga dunia asal Cina, Lin Wang, dalam final salah satu kejuaraan Super Series ini, pada Minggu (22/6). Saina pun menjadi pemain India pertama yang menang dalam kejuaraan bulu tangkis yang masuk kategori Super Series.
Prestasi Saina ini dengan usaha susah payah keluarganya. Separuh penghasilan keluarga setiap bulan dihabiskan agar anak mereka bisa berlatih tanpa terganggu. Ayahnya, Harvir Singh, bahkan mesti merelakan tabungan pensiunnya dikuras habis.
Harvir bukan orang kaya. Peneliti di Direktorat Riset Tanaman Mengandung Minyak Hyderabad hanya mengandalkan sebuah skuter untuk mengantar keluarganya ke mana-mana.
Tapi Harvir, dan istrinya Usha Nehwal, adalah pecinta bulu tangkis. Anaknya, Saina, sejak kecil diajari main tepok bulu. Pada Desember 1998, mereka mengikutsertakan Saina dalam sebuah turnamen bulu tangkis anak-anak.
Pelatih bulu tangkis di Otoritas Olah Raga Negara Bagian Andhra Pradesh, yang melihat bakat Saina, segera menawarinya latihan selama musim panas. Persoalan muncul: dari rumah sampai tempat latihan itu berjarak 20 kilometer.
Jika membawa mobil, jarak 20 kilometer--alias 40 kilometer pulang pergi--bukan jarak yang jauh. Tapi perjalanan 40 kilometer setiap hari dengan sebuah skuter cukup melelahkan bagi bocah berusia delapan tahun.
Setiap pagi, sebelum pukul 6.00, Saina harus sudah siap di lapangan bulu tangkis. Latihan berlangsung dua jam. Ayahnya kemudian harus mengantar ke sekolah. Dalam pekan pertama, Saina kadang tertidur di boncengan skuter. Jadi, ibunya kemudian ikut mengantar agar Saina tidak terjatuh dari boncengan.
Setahun kemudian, agar anaknya bisa berlatih bulu tangkis dengan baik, Harvir pindah rumah agar lebih dekat tempat latihan. Kali ini jaraknya hanya tujuh kilometer alias hanya 14 kilometer pulang pergi.
Persoalan belum selesai, pelatihnya meminta Saina juga datang ke tempat latihan pada malam hari. Jadi, dua kali ayahnya mengantar dengan skuter itu ke tempat latihan.
Persoalan utama bagi ayahnya adalah uang. Untuk transport saja, Saina membutuhkan 150 rupee (Rp 32 ribu) per hari. Itu belum termasuk biaya untuk latihan--mulai dari shuttle cock, rakte, sepatu, sampai baju--yang sesekali mesti dibeli.
Total, sebulan ia menghabiskan uang 12 ribu rupee (Rp 2,5 juta) agar Sania bisa berlatih keras. Itu bukan hal yang murah bagi Singh, bahkan sekitar separuh dari penghasilan bulanannya.
Tak heran, ia harus mengambil dana pensiunnya berulang-ulang agar latihan anaknya tidak terganggu. "Kadang saya ambil 30 ribu rupee (Rp 6,4 juta), kadang hampir 10 ribu rupee (Rp 21,5 juta)," katanya. Ia bahkan sampai lima kali lebih harus mengambil dana pensiun ini demi Saina.
Baru mulai 2002 ia sedikit lega karena pabrik peralatan bulutangkis Yonex menjadi sponsor dan memberi peralatan gratis. Sponsor lain, Bharat Petroleum, menjadi sponsor pada 2004 dan tahun berikutnya dana olahraga dari Mittal Sport Trust.
Bantuan dari pemerintah India ada, tapi terlalu sedikit. Sampai 2003, ia hanya mendapat 600 rupee (Rp 130 ribu) sebulan. Setelah itu hanya 2.500 rupee (Rp 540 ribu) sebulan. "Periode antara 1994-2004 adalah saat yang menjadi cobaan keluarga karena kami tidak mendapat sponsor apapun," kata Harvir.
Kehidupan keluarganya sangat berprihatin. Sejak 1998 sampai 2005, Saina tidak pernah ke pesta, rumah makan, atau bioskop. "Saat wartawan televisi datang ke rumah pada Mei tahun silam, saya bahkan tidak bisa menyajikan kue-kue," katanya.
Tapi Harvir tidak pernah mengungkapkan kesulitan keuangan ini kepada Saina karena takut akan merusak konsentrasi Saina. "Ia mungkin bisa terganggu begitu tahu ayahnya tidak memiliki dana pensiun lagi," katanya.
TIMES OF INDIA/INDIAN EXPRESS/NURKHOIRI