TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepala Sekolah SMA Negeri Ragunan (Khusus Atlet) Jakarta Didih Hartaya mengakui bahwa fasilitas latihan yang dimiliki SMA Khusus Atlet sangat minim dan tidak kondusif untuk latihan.
"Masak alat latihan dari tahun 75 (awal berdiri SMA Khusus Atlet) masih digunakan sampai sekarang," katanya kepada Tempo, Rabu (16/12).
Contohnya, lanjut dia, lima lapangan bulutangkis digunakan untuk 16 siswa atlet. Idealnya, hanya digunakan untuk 10 siswa atlet. "Ini akibat terlalu banyaknya siswa yang ada," ujarnya.
Ia mengatakan pemerintah menanggung sebanyak 300 atlet di SMP dan SMA Khusus Atlet Jakarta setiap tahunnya. Adapun penerimaan siswa baru ditentukan banyaknya siswa yang lulus setiap tahunnya. "Tergantung yang tamat. Kalau yang lulus empat anak, ya empat anak yang akan diterima," dia mencontohkan.
Sayangnya, Didih mengaku tidak tahu besaran dana yang dialokasikan pemerintah pada setiap anak per tahunnya. "Setahu saya, dari 300 anak itu, 100 anak ditanggung Pemda DKI dan 200 anak ditanggung pemerintah pusat, lewat Menpora," ujarnya.
Selain itu, para atlet juga sering terganggu oleh masyarakt umum yang diperbolehkan Pemda DKI Jakarta menggunakan fasilitas latihan dengan cara menyewa. "Jadi anak-anak kadang terhambat, malah kadang latihan di tempat lain," ujarnya
Untuk itu, pihaknya mengusulkan agar dilakukan adanya penataan ulang terhadap SMA Khusus Atlet. "Menpora, KONI, Pemda (DKI), untuk membicarakan perannya masing-masing. Sekarang pembagian tugas tidak jalan, " ujarnya.
Seperti Menpora, lanjutnya, harusnya bertanggung jawab menyediakan anggaran, KONI berperan menyiapkan pelatih, Departemen Pendidikan Nasional bertanggung jawab soal pelajaran siswa dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta menyediakan fasilitas. "Itu sesuai MoU," katanya.
SHOLLA TAUFIQ