INFO PEPARNAS - Tim judo tunanetra Jawa Barat akhirnya menjadi juara umum dalam Pekan Paralimpik Nasional XV/2016 Jawa Barat di GOR Pajajaran, Rabu, 19 Oktober 2016. Atlet judo tunanetra, Wirya Dharma, menyempurnakan kemenangan Jawa Barat dengan memenangkan pertandingan final kelas -81 kilogram putra, sehingga total raihan medali Jabar menjadi 7 emas, 6 perak, dan 2 perunggu.
Wirya sukses menundukkan pejudo Sulawesi Selatan, Bahar Rahman. Kemenangan Wirya memberikan angin segar karena dua andalan Jabar dalam cabang olahraga bela diri ini gagal memberikan emas. Pejudo Jabar, Sony Satrio Dwi Laksono, akhirnya tunduk kepada atlet Sumatera Utara, Buchari Sitepu, dalam pertandingan final kelas +81 kilogram putra. Sementara di kelas putri, Melinda Artia Garini, harus puas dengan raihan medali perak, setelah dua kali kalah dari Roma Siska asal Riau dalam tiga partai best of three.
Pelatih judo tunanetra Jabar, Ira Purnamasari, mengaku banyak kejutan yang didapatnya dalam Peparnas XV/2016. Kemenangan Wirya merupakan salah satunya, selain kekalahan atlet-atlet asuhannya dari para pejudo Sumut.
Namun Ira puas dengan kemampuan yang ditunjukkan tim judo Jabar dalam event ini dan berharap potensi mereka dapat terus dikembangkan dengan pelatihan yang lebih intensif.
Judo tunanetra atau blind judo memang baru pertama kali dipertandingkan dalam Peparnas. Sungguh menakjubkan bagaimana para atlet tunanetra mampu melakukan olahraga bantingan dan kuncian asal Jepang ini.
Pelatih judo paralimpik Jabar, Budi Hidayat, mengungkapkan, dalam melatih, sangat penting untuk memberikan gambaran lawan tanding dan sistem permainannya kepada atlet.
“Kami latih satu tahap demi tahap. Mereka diminta meraba dulu lawan, dibetulkan dulu saat meraba. Jatuh, diberdirikan lagi, diraba lagi. Baru dua bulanan, mereka sudah bisa jatuh-jatuhan secara baik,” kata Budi.
Orientasi lapangan para pejudo dipertajam terlebih dahulu. Butuh waktu yang cukup lama untuk melatih kepekaan bela diri mereka, sehingga teknik permainan, seperti bantingan dan kuncian, baru diajarkan di bulan ketiga.
Uniknya, Budi tidak membedakan antara atlet paralimpik dan atlet biasa saat melatih mereka. “Saya lepas saat melatih, jadi jangan pernah membedakan ‘oh, saya normal, dia tunanetra’. Tidak seperti itu. Normal saja. Ini juga tantangan besar buat saya sebagai pihak yang pertama kali mencetuskan blind judo,” katanya.
Tantangan yang paling terasa, menurut Budi, adalah ketika atlet judo tunanetra ini tidak awas terhadap lingkungan sekitarnya. Beberapa kali Budi menemukan atletnya terbentur tembok atau jatuh ketika perhatiannya teralihkan.
“Kadang kalau dibanting, tangan bisa ke mana, bisa patah. Nah, itu risikonya cepat, gitu. Tapi, kalau mereka sering latihan, banting-banting, otomatis mereka sudah rileks. Banting jatuh begitu, biasa,” ujarnya, yang juga menjadi atlet andalan Jabar dalam PON XIX/2016.
Senada dengan rekan pelatihnya, Budi ingin cabang olahraga judo tunanetra ini dapat berkembang, dan Indonesia bisa mengirim perwakilannya ke Para SEA Games, bahkan Paralympics. (*)