TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo meminta sasana-sasana tinju untuk melangsungkan pembinaan terhadap atlet tinju profesional sesuai dengan jenjang. Ia meminta agar petinju-petinju tidak terburu-buru diorbitkan. "Kalau sudah berpengalaman di amatir, baru loncat ke profesional," kata Roy di kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga Jakarta, Jumat, 1 Maret 2013.
Roy menyayangkan beberapa petinju meninggal seusai bertanding. "Saya harus menyampaikan ucapan duka dan prihatin saya pada petinju yang meninggal di arena karena mungkin keinginan almarhum-almarhum itu untuk mendapatkan nama besar. Tapi, sayangnya terlalu cepat," kata dia, "Pengalaman bertanding (di amatir) dan (kaidah-kaidah) keselamatan belum mendapat perhatian maksimal di Sasana."
Komentar itu disampaikan Menteri Roy menanggapi dijatuhkannya sanksi dari World Boxing Council (WBC) atau Dewan Tinju Dunia pada Indonesia menyusul meninggalnya tiga petinju Indonesia dalam kurun waktu kurang dari setahun terakhir. Sanksi yang berlaku untuk waktu tidak terbatas ini berupa larangan diadakannya pertandingan tinju profesional di bawah naungan WBC. Sanksi itu diberlakukan sampai ada penjelasan dari otoritas resmi pengawasan tinju profesional Indonesia.
Roy juga berencana membicarakan masalah ini dengan Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia (PP Pertina). Beberapa waktu lalu, Roy berkunjung ke sasana tinju. "Memang banyak kekurangan. Ini yang harus kita upayakan bersama," katanya.
Mengenai kekurangan dana untuk membina sasana-sasana, Roy mengaku dana dari lembaganya memang terbatas. "Tetapi kami akan berusaha menyalurkan," kata Menpora melanjutkan.
Bahkan, tahun ini ada pengurangan dana bagi pengurus-pengurus cabang olahraga. Berkaitan dengan hal ini, Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga, Djoko Pekik Irianto, sudah pernah menyurati pengurus-pengurus cabang olahraga. Mereka diminta bersabar karena ada pengurangan.
Pada kesempatan yang sama, petinju Indonesia pemegang gelar juara kelas bulu World Boxing Associoation (WBA), Chris John, menyayangkan dijatuhkannya sanksi ini oleh WBC. Ia berharap, sanksi itu bisa menjadi pelajaran bagi komisi tinju di Indonesia agar bisa memperbaiki kondisi yang terjadi di dunia tinju. "Sepertinya dari dulu (kondisi) itu tidak berubah. Banyak terjadi kecelakaan di atas ring, tetapi kenapa kondisi seperti ini tidak bisa diubah? Harusnya kita bisa belajar untuk mengatasi hal itu," katanya.
Chris John berharap pemerintah dan badan tinju melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap tinju profesional Indonesia. Selain itu, ia juga mengharapkan petinju-petinju Indonesia lebih peduli terhadap keselamatannya. Ia juga merasa ilmu kepelatihan tinju di Indonesia masih harus banyak ditingkatkan.
Menurut Chris John, gegar atau pendarahan otak disebabkan kurangnya cairan di dalam otak. Ia mengatakan, kekurangan cairan ini biasanya disebabkan usaha petinju menurunkan berat badan sebelum pertandingan. "Mereka mungkin kurang tahu cara cepat mengembalikan kondisi cairan badan setelah menurunkan berat badan itu," ujarnya. Selain itu, persiapan petinju yang sangat singkat menjelang pertandingan juga menjadi penyebab.
Meninggalnya petinju remaja Indonesia, Tubagus Setia Sakti, 27 Januari lalu, menambah daftar panjang petinju Indonesia yang meninggal setelah bertanding. Dalam kurun waktu kurang dari setahun terakhir, sebanyak tiga petinju Indonesia meninggal. Selain Tubagus, petinju lain yang meninggal ialah Muhammad Afrizal dan Oxon Palue. Secara keseluruhan sudah 30 petinju di Indonesia yang meninggal sepanjang sejarah tinju profesional di Tanah Air.
GADI MAKITAN