TEMPO.CO, Jakarta - "Kalau orang Nahdlatul Ulama datang ke Myanmar, mereka pasti akan betah," seloroh seorang fotografer saat kami tiba di Nay Pyi Taw. Sebab di ibu kota Myanmar ini, hampir semua pria menggunakan sarung.
Mereka 'sarungan' hampir di setiap aktivitas, baik ketika berjalan kaki, menyupir mobil, bahkan hingga naik motor. Tak hanya kaum pria, beberapa wanita juga memakai sarung. Sarungan ini sekilas mirip tradisi Nahdlatul Ulama.
"Ini namanya pesoy," kata Ye Min Thu, seorang warga Nay Pyi Taw, sambil menunjuk sarungnya. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, Ye Min Thu mengatakan, ia memakai sarung karena mengikuti tradisi.
Budaya sarungan ini membuat saya merasa seperti berada di kota santri, Jawa Timur, sampai seorang staf di bagian pendaftaran media menawari beberapa tusuk sate daging babi. "Silahkan jika anda lapar," katanya.
Maklum, mayoritas orang Myanmar adalah pemeluk Budha. Karena itu daging babi menjadi kelaziman di sini. Untungnya, mereka cukup menghormati pemeluk agama lain.
Di kantin media center, misalnya, ada restoran yang menyediakan makanan halal seperti ayam dan ikan. Ada sertifikat halal dari majelis ulama setempat yang menjamin kehalalan makanan-makanan itu.
Tradisi lain warga di sini adalah memoleskan bubuk kayu tanaka ke wajah. Saya tak tahu persis jenis kayu yang dimaksud. Namun, seorang warga menjelaskan bubuk kayu itu berfungsi sebagai penghalus wajah.
Cara menggunakannya, kayu itu ditumbuk hingga halus lalu dibasahi kemudian dipupurkan ke wajah. "Kalau sudah kering kamu akan terlihat lebih cantik," kata seorang pelayan di salah satu toko yang menjual bubuk kayu tanaka itu.
Uniknya, mereka tak menunggu luluran itu kering dulu sebelum jalan-jalan ke luar. Akibatnya, dengan wajah penuh luluran, mereka pun tidak --atau belum-- terlihat cantik.
Jika para wanita suka keluyuran dengan wajah penuh luluran, maka para prianya suka mengunyah kinang. 'Jejak' kinang mereka bisa dilihat di pinggir-pinggir jalan yang penuh bercak merah.
Karena alasan itulah, mungkin, panitia SEA Games di Myanmar kemudian memasang tanda dilarang meludah di setiap venue pertandingan. Lambang bibir menyemburkan ludah yang digaris merah itu 'sepaket' dengan lambang dilarang merokok.
DWI RIYANTO AGUSTIAR