Kisah Natalia Partyka Belum Puas dengan Koleksi 4 Medali Emas Paralimpiade
Reporter
Antara
Editor
Arkhelaus Wisnu Triyogo
Kamis, 26 Agustus 2021 16:18 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dari kejauhan Natalia Partyka tampak tak jauh berbeda dari yang lain. Kerja kaki dan teknik pengaturan langkah kaki sangat efektif saat bertanding di para tenis meja Paralimpiade Tokyo 2020. Ia memiliki pukulan backhand dan forehand yang keras. Refleksnya bagus dan pertahanannya kokoh.
Dia terlihat bagaikan petenis meja papan atas dunia. Namun begitu dilihat dari dekat, hal lain yang lebih menakjubkan tampak.
Saat bersiap mengambil servis, Partyka yang sejak lahir sudah tanpa lengan kanan, dengan hati-hati menyeimbangkan bola di ujung siku sebelum melemparkan bola ke udara. Bola jatuh menimpa bidang bet yang digenggam satu-satunya lengan yang dia punya dan dia arahkan kepada lawan.
Itu gambaran Partyka saat tampil pada Olimpiade London 2012. Kini, pada usianya yang sudah 32 tahun, Partyka menjadi salah satu atlet yang paling menonjol dalam ajang Paralimpiade Tokyo 2020.
Tokyo 2020 adalah Paralimpiade keenamnya. Dia Olimpian dari empat Olimpiade yang pernah diikuti. Dalam kata lain, dia adalah atlet yang pernah mengikuti Olimpiade sekaligus Paralimpiade. Dia menjadi satu dari 15 Paralimpian sepanjang masa yang pernah tampil dalam dua ajang olahraga terbesar tersebut.
Sembilan tahun lalu, ketika berlaga di Olimpiade London, ia kalah dari atlet Belanda Jie Lin pada babak 32 besar. Saat itu dia berkata, "bagi saya disabilitas itu biasa. Saya bermain di lapangan yang sama dengan yang lain. Saya melakukan latihan yang sama. Kita punya tujuan yang sama, impian yang sama dan saya bisa bermain seperti mereka. Saya agak bosan terus-terusan ditanya soal disabilitas."
Ia mengaku senang pencapaian dan aksi lapangannya menjadi inspirasi untuk yang lain. "Mungkin orang melihat saya menjadi sadar bahwa disabilitas mereka bukan akhir segalanya. Mungkin orang melihat saya dan kemudian berpikiran bahwa mereka bisa melakukan hal lebih besar ketimbang yang mereka kira. Saya memang inspirasi, saya tak bisa menolaknya," ujar Partyka.
Berikutnya panggilan hidup di tenis meja...
<!--more-->
Kini di Tokyo, atlet asal Polandia ini sudah mengawali penampilan Paralimpiade keenamnya dengan menang straight set 3-0 atas atlet Jepang Takeuchi Nozomoi pada babak pendahuluan kelas 10 tunggal putri para-tenis meja Paralimpiade Tokyo 2020.
Sekalipun sudah biasa menang dan tengah memburu medali emas tunggal putri para-tenis meja yang kelimanya secara berturut-turut dalam Paralimpiade, Partyka menganggap Paralimpiade kali ini kompetisi yang paling sengit.
"Saya bisa bilang semua pemain putri dalam kategori saya sudah banyak mencapai kemajuan. Mereka sungguh jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, jadi saya bisa katakan levelnya nyaris sama," kata dia.
Tetap saja, dia haus gelar, tak pernah puas dengan satu medali atau satu kemenangan. "Menang terasa lebih baik sekalipun tak akan bisa ditempuh dengan cara mudah," ucapnya.
Jika lawan-lawannya nanti tampil semakin baik dan semakin lapar, maka itu artinya dia pun harus lebih baik lagi. Dia sendiri sudah terbiasa tampil di atas rata-rata guna menjadi yang terbaik. Sejak awal kariernya, Partyka sudah memastikan namanya selalu terpatri dalam hati semua orang.
Dia melewati Paralimpiade perdananya di Sydney pada 2000, dalam usia 11 tahun, sehingga membuatnya menjadi atlet Paralimpiade termuda sepanjang masa, bahkan tak ada atlet Olimpiade yang melakukan debut dalam usia semuda dia. Semua orang pun semakin terpukau manakala si anak ajaib dari Polandia ini memenangkan dua pertandingan sebelum terhenti pada babak ketiga.
Tersenyum mengingat pengalamannya di Sydney itu, Partyka bijak berkata, "Paralimpiade Sydney membantu saya mempersiapkan diri dalam menghadapi paralimpiade-paralimpiade berikutnya."
Kata-kata ini bukan bualan, pun bukan demi menghibur diri. Karena setelah kegagalan di Sydney itu, Partyka memenangi total lima emas Paralimpiade di nomor yang sama. Berawal dari Olimpiade Athena 2004, Partyka memutuskan tampil baik dalam Olimpiade maupun pada Paralimpiade Beijing 2008.
Bersama atlet Afrika Selatan Natalie du Toit, dia menjadi dua atlet yang tampil dalam Olimpiade sekaligus Paralimpiade di Beijing 2008 itu. "Selalu menjadi impian saya bisa lolos Olimpiade," kata dia mengenang Olimpiade pertamanya itu.
“Yang pertama saya itu gila banget karena saya menghabiskan waktu satu jam di zona media usai menyelesaikan pertandingan. Semua penonton mendukung saya, dan media tertarik kepada kisah hidup saya."
Pengalaman di Beijing membuat Partyka ketagihan. Dia mengulanginya lagi pada Olimpiade London 2012 ketika lolos ke babak 32 besar tunggal putri Olimpiade. Hal ini sungguh mengungkapkan kekuatan sejatinya dalam memainkan tenis meja.
Berikutnya Partyka yang belum mau berhenti...
<!--more-->
Di London 2012 itu pun dia berkata, "Segala hal tentang diri saya tercipta dari tenis meja. Cabang olahraga ini mengajari saya tentang kerja keras, pantang menyerah, dan berjuanglah selalu demi mimpimu."
Ketika laman Olympics bertanya, manakah yang paling berat, Olimpiade atau Paralimpiade? Partyka tak ragu menjawab. "Olimpiade jauh lebih mudah karena saya tak punya tekanan apa-apa. Tak ada yang mengharapkan saya memperoleh medali, saya cuma menikmati Olimpiade tanpa ada stres dan tekanan apa pun."
Tetapi dalam Paralimpiade semua itu berbeda. "Ini enggak gampang tapi saya senang sekali masih bisa mengalahkan semua orang."
Pengoleksi sekitar 30 medali kejuaraan dunia ini juga berbicara tentang keseimbangan dalam bagaimana Paralimpiade disajikan, termasuk di Tokyo ini. Ia mendukung presentasi bahwa penyandang disabilitas itu juga manusia biasa seperti yang lain.
Untuk itu pula dia sangat menyukai video kampanye "WeThe15" yang dipresentasikan pada pembukaan Paralimpiade Tokyo dua hari lalu. "WeThe15" mengacu kepada jumlah penyandang disabilitas di seluruh dunia yang mencapai 15 persen dari total penduduk dunia.
"Video itu adalah cara yang baik dalam menunjukkan kepada semua orang bertubuh lengkap bahwa orang-orang difabel itu ada dan mereka juga normal. Kami menjalani kehidupan normal,” kata dia.
Partyka juga ingin mendapatkan pengakuan bahwa betapa hebatnya paralimpian-paralimpian itu. Bagi dia sendiri, kualitas superhero paralimpian juga bersumber dari inspirasi dan kisahnya. “Setiap kali saya mengikuti Paralimpiade, saya melihat semua atlet dan orang punya kisahnya masing-masing dan itu menginspirasi sekali."
Inspirasi itu pula yang menguatkan tekadnya untuk tak cepat-cepat meninggalkan arena sehingga sekalipun Tokyo 2020 menjadi Paralimpiade yang keenamnya, paralimpian Polandia ini belum terpikir mengakhiri karir. “Saya seperti veteran. Tapi saya belum setua itu! Saya baru berusia 32 tahun, jadi saya kira saya masih muda, dan masih cukup muda untuk terus bermain."
"Anda tahu, tenis meja adalah panggilan hati saya dan itu juga mata pencaharian saya, jadi saya kira saya bisa merengkuh apa yang saya bisa rengkuh, oleh karena itu saya belum terpikir mengakhiri karier," kata Partyka yang kini berfokus mempertahankan dominasi di dunia para-tenis meja.
Baca juga : David Jacobs Berpeluang Lolos Perempat Final Para-Tenis Meja Paralimpiade Tokyo