TEMPO.CO, Jakarta - Orang yang paling penasaran dengan keberhasilan Caroline Wozniacki menjuarai tunggal putri tenis Australia Terbuka di Melbourne Park, Sabtu 27 Januari 2018, mungkin adalah Jana Fett.
Popularitas petenis Kroasia berusia 21 tahun itu jauh di bawah Wozniacki, Simona Halep, Angelique Kerber, Maria Sharapova, dan yang lainnya. Peringkat tunggal dunia petenis putri asal Zagreb ini hanya di urutan ke-119.
Tapi, Fett yang nyaris membuyarkan impian mantan ratu tenis dunia yang menduduki peringkat kedua, Wozniacki, untuk memenangi Grand Slam setelah mengikuti seri kejuaraan akbar itu 43 kali.
Ketika berhadapan pada babak kedua Australia Terbuka 2018, Feet sudah memimpin 6-3, 2-6, dan mencapai macth game dengan memimpin secara telak di set penentuan, yaitu 5-1. Gadis Zagreb itu juga mencapai match point pada game ketujuh set ketiga itu dengan skor 40-15.
Tapi, Wozniacki seperti mencetak keajaiban ketika mampu menyelamatkan diri dari tekanan Feet yang meraih match point dua kali dan akhirnya menang 7-5. Petenis Denmark berdarah Polandia berusia 27 tahun itu mengakhiri drama pada babak kedua dalam waktu dua jam 31 menit.
Setelah pertandingan babak kedua itu, Wozniacki hampir tidak bisa percaya bisa menang. “Itu tadi benar-benar ‘gila’,” katanya di lapangan Melbourne Park, 17 Januari lalu. “Saya seperti tidak tahu bagaimana saya bisa bangkit dalam pertandingan itu.”
Fett tidak sempat menyaksikan lawan yang hampir dikalahkannya itu memeluk trofi juara tunggal putri Australia Terbuka 2018 dengan bangga. Petenis Kroasia itu langsung terbang ke Rusia begitu petualangannya selesai di Melbourne, untuk mengikuti babak kualifikasi St Petersburg Open.
Tapi, Fett mungkin akan selalu mengingat pertandingan mereka pada babak kedua Australia Terbuka 2018 itu merupakan titik balik Wozniacki, yang sangat menentukan pada seri pertama Grand Slam tahun ini.
Fett juga bisa menarik pelajaran dari Wozniacki ini, yaitu ketahanan dan hebatnya perjuangan petenis Denmark itu untuk keluar dari tekanan di sepanjang kariernya.
Enam tahun lalu, Wozniacki sudah berhasil menempati peringkat pertama dunia. Tapi, ia tak pernah bisa memenangi Grand Slam. Ini hal yang selalu menjadi bahan sindiran untuk seorang yang menduduki posisi ratu tenis dunia.
Kemudian, peringkat dunia Wozniacki sempat menurun drastis dan bahkan diprediksikan akan segera pensiun karena dinilai mainnya biasa saja serta tak punya senjata pukulan yang mematikan.
Tapi, Wozniacki pantang menyerah dan meningkatkan kekuatan fisik serta membekali diri dengan pukulan yang lebih tajam. Hasilnya terlihat di Rod Laver Arena, Melbourne Park, Sabtu lalu, ketika ia mengalahkan pemain nomor satu dunia saat itu, Simona Halep, di final dengan skor 7-6 (2), 3-6, 6-4.
Setelah enam tahun, Wozniacki meraih trofi Grand Slam untuk pertama kali dan juga kembali menduduki puncak peringkat dunia Asosiasi Tenis Wanita (WTA), dengan menggantikan posisi Halep.
Ini suatu momentum titik balik yang menakjubkan dari Wozniacki, seorang petenis yang peringkat dunianya sempat terjun bebas ke urutan ke-74 pada Agustus 2016.
“Saya memimpikan momen seperti ini bertahun-tahun,” kata Wozniacki di Rod Laver Arena, setelah pertandingan Australia Terbuka, Sabtu lalu. “Hari ini mimpi itu menjadi kenyataan. Saya tidak pernah menangis tapi hari ini adalah momen yang emosional.”
GUARDIAN | BBC | YAYUK | PRASETYO