TEMPO.CO, Jakarta - Proses pembinaan dan latihan adalah proses yang berdarah-darah, area yang kerap sunyi, serta acap dikesampingkan atau kurang dukungan.
Baca: Gempa Lombok: Kisah Duka dari Kampung Lalu Muhammad Zohri
Tapi, atlet dan pelatih serta pembina yang sejati adalah mereka yang mengambil risiko itu dan menghadapi apa yang akan terjadi dengan berani.
Baca: Fauzan Noor, Juara Dunia yang Bekerja Sebagai Pelayan Toko
Sukses sprinter Lalu Muhammad Zohri yang seperti “tiba-tiba” di ajang dunia itu –sehingga bendera Merah-Putih tak sempat disiapkan sejak awal- dan kemudian menjadi viral di media sosial, lantas menjadi pemicu dari terkuaknya sejumlah atlet, pembina, dan pelatih Indonesia yang berjuang menjalani proses yang berat itu. Dan, mereka berhasil.
Baca: Menpora Beri Bonus pada Fauzan Noor, Edithso, dan Juara Wushu
Merekalah barisan olahragawan sejati Indonesia. Gelar juara tingkat dunia yang diraih seperti kado terindah buat perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) ke-73 pada 17 Agustus 2018 ini.
Baca:
Devi Safitri Rebut Gelar Juara Dunia Hapkido di Korea Selatan
Sejarah Panjat Pinang Sejak Era Kolonial
1. Lalu Muhammad Zohri
Lalu Muhammad Zohri menjadi atlet Indonesia pertama yang berhasil meraih medali emas dalam di Kejuaraan Dunia Atletik U-20.
Hal itu terjadi pada pergelaran 2018 di Tampere, Kanada, 10-15 Juli. Atlet yang biasa dipanggil Zohri ini memenangi babak final lari 100 meter catatan waktu 10,18 detik.
I Komang Budagama dan I Made Budiasa adalah duet pelatih yang menemukan dan membina Zohri di Pusat Pembinaan dan Pelatihan Pelajar (PPLP) Mataram sebelum mencapai prestasi juara dunia lari 100 meter U-20 di Tampere, Finlandia.
Setelah masuk PPLP pada 2016 di Mataram, I Komang dan I Made mulai membenahi teknik berlari Zohri, terutama teknik start yang merupakan bagian paling penting dalam lari jarak pendek.
Kejuaraan resmi pertama yang diikutinya setelah menjadi pelajar PPLP adalah Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Antar-PPLP 2016 di Jakarta, dan Zohri meraih perunggu dengan catatan waktu 10,88 detik.
Prestasi terbaiknya adalah 10,25 detik pada semifinal Kejurnas Antar-PPLP 2017 di Papua. Namun, di final ia hanya mencatat waktu 10,36 detik gara-gara start yang buruk meski tetap tampil sebagai juara.
Rentetan prestasi dan peningkatan yang diperlihatkannya membuat Zohri dipanggil ke Jakarta pada akhir 2017 untuk bergabung dengan pemusatan latihan nasional Asian Games 2018.
Lompatan besar yang membuat namanya melejit ibarat meteor adalah saat menjuarai kejuaraan dunia 100 meter U-20 di Tampere.
Zohri mencatatkan kecepatan 10,18 detik atau hanya terpaut 0,01 detik dari rekor nasional yang dipegang Suryo Agung sejak 200. Capaian ini diraih pada saat umurnya baru menginjak 18 tahun. Suryo Agung menciptakannya saat berusia 26 tahun.
2. Samantha Edithso
Samantha Edithso adalah pecatur Indonesia yang masih berusia 10 tahun. Pada akhir Juni 2018, ia menjuarai FIDE World Championship U-10 di Belarusia.
Samantha telah menjuarai banyak kompetisi internasional lainnya, seperti Asian School Championship G-17 Blitz 2017 dan Asian Youth Championship G-10 Blitz & Rapid pada 2018.
Samantha juga pecatur nomor satu di dunia untuk kelompok umur U-10 berdasarkan Elo Rating.
Awalnya, Samantha ditemukan Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi) saat mengikuti kejuaraan nasional (kejurnas) catur pada 2016. Bakat Samantha, yang kala itu masih berumur 8 tahun, mulai terlihat. Sebab, saat mengikuti kejurnas tersebut, ia turun di kategori kelompok umur 12 tahun.
Menanggapi hal ini, Ketua Bina Prestasi PB Percasi, Kristianus Liem, berpendapat Samantha memang memiliki bakat yang mampu bersaing dengan atlet dari kelompok usia yang lebih tua darinya.
“Mainnya bagus. Untuk usia 17 tahun Indonesia saja dia mainnya bersaing dan menjadi runner-up,” kata Liem.
3. Jevon Kuswoyo dan Lawrence Dean Kurnia
Tim Wushu Indonesia menuai hasil bagus di Kejuaraan Dunia Wushu Junior di Brasilia, Brasil, 9-16 Juli 2018.
Jevon Lionel Koeswoyo dan Lawrence Dean Kurnia yang mendapatkan medali emas. Jevon mendapatkan emas dari kategori taijijian A. Lawrence yang baru berusia 11 tahun meraih emas dari daoushu C.
Atlet wushu Indonesia lainnya juga berprestasi. Perak diraih Nadya Permata di changquan, Jevon di taiji, Joyceline di jianshu, dan Nadya Permata di ginshu A.
Perunggu didapat Thalia Marvelina di nomor gunshu, Nelson Louis di jianshu, Patricia Geraldine di jianshu, Ahmad Gifari di nomor tombak, dan Joyceline di nanquan B.
4. Fauzan Noor
Fauzan Noor sebenarnya sudah menjadi juara dunia kumite (perkelahian) Kejuaraan Dunia Karate Tradisional, WASO World Championship, di Praha, Republik Cek, pada 28-29 Desember 2017.
Tapi, Fauzan merasakan betul kurangnya perhatian untuknya sebelum Zohri juara.
Kini Fauzan sudah bisa bernapas lega. Ia baru saja mendapatkan penghargaan atas prestasinya. Bersama atlet catur dan wushu yang juga menjadi juara, ia mendapatkan bonus dari Kemenpora. Bonus sebesar Rp 40 juta itu ia terima langsung dari Menpora Iman Nahrawi di Gedung Kementerian Pemuda dan Olahraga, Senin, 23 Juli 2018.
Sebelum mengikuti kejuaraan karate tradisional di Cek, ia telah menjuarai beberapa turnamen di Indonesia. Terakhir kali, ia menjadi juara nasional di Sumedang, Jawa Barat, sehingga berhak mewakili Indonesia di Cek.
Meski juara, setelah pulang ke Indonesia ia tidak disambut seperti juara dunia. Ia melanjutkan hidupnya dan menekuni pekerjaannya sebagai pelayan di toko ritel di Banjarmasin.
Pelatih Fauzan, Mustafa, menyatakan bonus dari Kemenpora sebagai yang pertama kali. "Ini (bonus) yang pertama dan sangat besar. Sementara kami tidak pernah membayangkan. Jadi betul-betul seperti anugerah yang jatuh," ujar Mustafa.
Mustafa dan ketua umum Federasi Karate Tradisional Internasional (FKTI) yang juga hadir di Kemenpora, Zudan Arif Fakrulloh, berharap karate tradisional segera diakui oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia. .
Di final, Fauzan yang bertinggi badan 162,5 sentimeter dan berat sekitar 62 kilogram, berhasil mengalahkan karateka tuan rumah yang tubuhnya jauh lebih tinggi dan besar.
5. Devi Safitri
Atlet bela diri hapkido Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Devi Safitri, 21 tahun, sukses meraih gelar juara dunia di ajang World Hapkido Championship Seoul 2018 di Seoul, Korea Selatan, 29 Juli. "Target ini melebihi ekspektasi saya dan berhasil meraih juara," katanya.
Devi bertanding di arena dua di Jung-Gu Community Center Seoul, dan berhasil meraih medali emas usai mengalahkan rivalnya dari Hong Kong pada nomor dae ryeon (tarung) di kelas bulu di bawah 57 kilogram.
Saat dilepas Wakil Bupati Kubu Raya Hermanus sebelum bertolak ke Korea, Devi dengan tegas menyatakan memasang target meraih medali, meski Kejuaraan Dunia Hapkido 2018 merupakan turnamen internasional pertamanya.
"Saat itu sudah persiapan sekitar 7 bulan. Persiapan itu belum termasuk latihan mandiri setiap hari dan latihan gabungan bersama timnas Indonesia," kata juara Nasional Hapkido 2017 ini.
Berkat kemenangan Devi itu, Bupati Kubu Raya Rusman Ali menyambut antusias sebagai bentuk apresiasi atas prestasi Devi yang membanggakan negara dan daerah.
Menurut Rusman Ali, Devi Safitri telah membuktikan putra-putri daerah mampu bersaing di tingkat nasional, bahkan dunia.
Pelatih hapkido Kalimantan Barat, Rusli, menyampaikan terima kasihnya atas perhatian Pemkab Kubu Raya kepada komunitas hapkido binaannya. Menurut Rusli, kepedulian tersebut akan menjadi penyemangat bagi atlet untuk meraih prestasi.
Devi Safitri baru mulai menekuni hapkido pada 2016 atau sekitar dua tahun setelah bela diri hapkido masuk ke Indonesia sekitar 2014. Baru setahun bergabung di hapkido, Devi langsung menunjukkan kelasnya.
Ia tampil sebagai juara nasional di kejuaraan nasional hapkido di Yogyakarta. Atas prestasi itu Devi dipanggil bergabung dengan tim hapkido Indonesia.
EDO JUVANO | EGI ADYATAMA | ERVIRDI RAHMAT | ANTARA