TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen Chelsea memecat Frank Lampard setelah The Blues menduduki peringkat kesembilan dalam klasemen Liga Inggris. Ia dipecat setelah membawa Chelsea menang 3-1 atas Luton Town di Piala FA. Nasib sebagai pemain muda, tentu berbeda dengan nasib pelatih Manchester United Ole Gunnar Solskjaer.
Lampard ditunjuk sebagai manajer Chelsea tak lama setelah penunjukkan Ole Gunnar Solskjaer di Manchester United. Saat itu, dia menjadi favorit media sampai akhirnya didepak dari Stamford Bridge.
Di lapangan, Solskjaer mengalahkan Lampard dalam tiga dari lima duel keduanya. Sedangkan, dua partai lain berakhir dengan kekalahan dan seri. Solksjaer bakal sangat sulit mengalami nasib yang telah menimpa Lampard karena tiga alasan seperti disebutkan situs United In Focus.
1. Komposisi Manajemen
Solskjaer menangani pemain-pemainnya selama dua tahun terakhir dengan sangat baik. Lihat saja dalam kasus Paul Pogba, ia menangani situasi pelik sampai kemudian berhasil mendorong pemain Prancis itu mengeluarkan semua hal terbaik yang dia miliki.
Salah satu hal yang tak akan dilakukan Solskjaer adalah mengkritik pemainnya di depan publik. Ini kebalikan dari Lampard saat Chelsea tengah menghadapi kesulitan, salah satunya pada Desember setelah The Blues dikalahkan Wolves ketika Lampard mengatakan bahwa para pemainnya harus bertanggung jawab atas kekalahan tersebut.
Lampard disebut tak begitu piawai dalam manajemen dan kekurangan keterampilan dalam melatih untuk memotivasi timnya. Ia juga gagal merangsang keluarnya kemampuan terbaik dari pemain-pemainnya. Solskjaer justru sebaliknya. Ia berusaha memaksimalkan potensi yang dimiliki semua pemainnya.
Baca juga : Kisah Pemecatan Frank Lampard dan Kembalinya Tradisi Kejam Chelsea
2. Rencana Jangka Panjang
Pemecatan Lampard sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya setelah Chelsea melakukan belanja besar-besaran di bursa transfer musim panas lalu. Dia sebenarnya sudah berhasil pada musim 2019/2020 dengan finis urutan keempat klasemen Liga Inggris dengan menggunakan skuad muda yang ada.
Tetapi, setelah pemain bintang hadir, Lampard meminggirkan pemain-pemain muda seperti Fikayo Tomori dan Tammy Abraham. Ia beralih ke pemain-pemain baru yang dibeli dengan duit senilai 200 juta poundsterling.
Masalah Lampard bukan hanya belanja terlalu banyak, tapi juga pembelian sebesar itu membuat beban dia menjadi lebih besar khususnya dalam membangun tim yang tak bisa dilakukan dalam waktu sekejap.
Solskjaer pun mengomentari kebijakan belanja Chelsea dan Lampard. "Sungguh tak mudah terlalu banyak pemain baru di dalam tim, butuh waktu lama bagi pemain menyatu dalam satu unit. Kita sudah menyaksikan beberapa klub mengambil jalur pintas menyelesaikan masalah, sedangkan yang lainnya mempercayai proses," kata dia.
Man United sendiri memang membeli beberapa pemain muda, tetapi perubahan yang mereka lakukan dilakukan secara bertahap.Adapun Lampard sebenarnya tak mau terburu-buru belanja pemain. Di sini, pendekatan United lebih masuk akal dan itu mendapatkan ganjaran.
3. Pengalaman
Ole Gunnar Solskjaer disebut-sebut tak punya pengalaman menangani klub besar, tetapi dalam soal manajemen dia sebenarnya jauh lebih berpengalaman ketimbang Lampard. Lampard hanya pernah satu musim di Derby County sebelum ditarik menangani Chelsea. Sebaliknya, Solskjaer menghabiskan waktu satu dekade menangani tim cadangan Manchester United sebelum melatih Molde di Norwegia selama tiga tahun.
Ia juga sempat menangani klub Cardiff, sebelum balik lagi ke Molde. Intinya, dia sudah lebih dari sepuluh tahun menangani manajemen tim senior. Pengalaman ini ternyata berguna yang membuatnya memahami seluk-belum manajemen, membangun skuad dan menghadapi pers. Berbeda dengan Lampard yang kerap menyerang balik pers yang mengkritiknya, Solskjaer menghadapi pers dengan wibawa, profesional dan berkelas.