TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia berhasil menambah dua atlet lolos ke Olimpiade Rio de Janeiro 2016 melalui cabang dayung. Kepastian itu didapat setelah La Memo (nomor single scull putra - M1X) dan Dewi Yulianti (single scull putri-W1X) menembus babak final pada kejuaraan Dayung zona Asia-Oceania di Chungju, Korea Selatan, hari ini, 24 April 2016.
Dalam kejuaran yang sekaligus babak kualifikasi Olimpiade 2016 itu, Memo dan Dewi sama-sama menempati posisi tiga besar sehingga maju ke final. Laga final akan digelar Senin, 25 April 2016.
Komandan Satuan Pelaksana Program Emas, Ahmad Soetjipto, mengatakan hasil yang diraih dua atlet dayung itu tak lepas dari pembinaan jangka panjang dengan menerapkan High Performance Training (HPT). Sebelum berangkat ke Chungju, para atlet dayung menjalani pemusatan latihan di Jatiluhur, Jawa Barat.
"Memo dan Dewi telag berada dalam lingkungan HPT sekitar dua tahun di bawah supervisi pelatih Belanda Boudewin yang benar-benar banyak memberikan pelajaran praktis ke pelatih-pelatih nasional kita. Bagaimana memelihatan dan membangun lingkungan kepelatihan menjadi lingkungan keunggulan," ujar Soetjipto yang ikut mendampingi tim Dayung, dalam keterangan media, yang diterima Tempo, Minggu, 24 April 2016.
Menurut Soetjipto, tak banyak cabang olahraga yang berhasol menciptakan lingkungan HPT. Untuk itu, ia melanjutkan, Satlak Prima membuat kebijakan dengan mengirimkan atlet dan pelatih sebanyak mungkin ke pusat-pusat pelatihan di luar negeri. Hal itu dilakukan, kata dia, agar target untuk bisa meningkatkan prestasi Indonesia di ajang SEA Games Malaysia 2017 dan masuk sepuluh besar saat menjadi tuan rumah Asian Games 2018.
Beberapa cabang olahraga yang telah menerapkan kebijakan ini, Soetjipto menyebutkan, yaitu renang, balap sepeda, atletik, dayung, dan beberapa cabang olahraga bela diri. "Tujuan pertama adalah segera membangun kapasitas untuk menghadapi SEA Games dan Asian Games, karena dilatih di dalam negeri belum terbukti belum menghasilkan peningkatan performa yang signifikan," ujarnya.
Tujuan lain, Soetjipto mengatakan agar pelatih dan atlet merasakan lingkungan keunggulan di luar negeri sehingga mereka tertular dan itu dibawa pulang untuk dicontoh dan diadopsi ke lingkungan kita.
Kebijakan Satlak Prima soal pengiriman atlet elit dan pelatih ke luar negeri juga harus memperhatikan soal kebijakan penerapan HPT. Kalau ingin mengirim ke luar negeri, harus ada mentor intsitusi High Performance. Ia mencontohkan, cabang renang dan balap sepeda ke Australia bekerja sama dengan Western Australia Institue of Sports (WAIS).
"Satlak Prima sedang mencari mentor yang pas untuk cabor yang lain. Sebab, kita sudah terlambat sekitar enam tahun dalam pengembangan elite atlet training program terutama pelibatan sports science dan metodologi latihan modern," katanya.
Untuk persiapan menghadapi Asian Games 2018, perubahan sistem pembinaan harus dilakukan. Apabila tidak dijalankan, Soetjipto menilai akan berat. Dia membandingkan dengan Jepang yang akan menjadi tuan rumah Asian Games 2020, saat ini sudah melakukan investasi besar-besaran dalam pengembangan elit sports.
"Kita harus menjadikan Asian Games 2018 sebagai momentum bagi reformasi keolahragaan. Tidak ada lagi main-main atau mencari keuntungan pribadi. Kita harus membuktikan dengan kerja keras dan siap mereformasi diri," ujarnya.
RINA WIDIASTUTI