Kapatalisme pasar yang curang
Ternyata, ada titik temu antara JPMorgan dengan sebagian dari para pemilik klub-klub itu, yakni Glazer si pemilik MU, Fenway Group sang pemilik Liverpool dan Keluarga Kroenka yang menguasai Arsenal adalah warga Amerika yang sudah pasti akrab dengan sepak terjang JPMorgan.
JP Morgan sendiri berkolaborasi dengan Key Capital yang salah satu investornya adalah pengusaha Spanyol bernama Borja Prado yang merupakan sahabat Florentino Perez.
JPMorgan dan Key Capital sepakat membenamkan dana maksimum 5 miliar dolar AS (Rp72 triliun) untuk mendanai Liga Super Eropa.
Dengan jumlah sebesar itu, pendanaan untuk liga ini menjadi kesepakatan pendanaan olahraga terbesar pada 2021 dan bakal menghadiahkan keuntungan luar biasa besar kepada JPMorgan yang akan menarik bunga antara 2 sampai 3 persen untuk 5 miliar dolar AS yang mereka benamkan itu.
Deloitte yang membuat laporan tahunan keuangan sepak bola menyebut kesepakatan itu menciptakan perubahan amat besar dalam dunia bisnis sepak bola.
Selama puluhan tahun belakangan ini, bisnis olahraga memang sudah menjadi pasar yang demikian cepat berkembang seiring dengan kian besarnya nilai hak siar televisi yang melonjak sampai miliaran dolar AS.
Pertumbuhan pasar setinggi ini sangat menarik perhatian investor ekuitas, pengelola dana investasi negara (sovereign wealth fund) dan bankir.
JPMorgan bahkan mendirikan tim keuangan olahraga akhir 1990-an dan bekerjasama dengan para pemilik klub olahraga. Salah satu klien terbesarnya adalah Stan Kroenke, miliarder pemilik Arsenal FC, klub NFL Los Angeles Rams, dan klub NBA Denver Nuggets. JPMorgan meminjamkan dana 2 miliar dolar kepada Kroenke untuk mendanai proyek Stadion Inglewood, markas Rams.
JPMorgan terus terlibat dalam membantu klub-klub olahraga dan pemilik-pemiliknya mendanai akuisisi tim, membangun stadion, modal kerja dan likuiditas lain yang dibutuhkan klub.
Komitmen dan keterlibatan dalam olahraga ini membuat JPMorgan dianggap mitra sangat strategis oleh para pendiri Liga Super Eropa. Lebih dari itu mereka memiliki tujuan sama, yakni memastikan adanya stabilitas pemasukan keuangan dari kompetisi olahraga yang tak terganggu performa tim dalam kompetisi.
Tetapi justru cara ini membuat mereka membuat Liga Super Eropa tak lebih dari salah satu wujud bahwa kapitalisme global berjalan di atas dasar pasar yang curang, bukan pasar bebas, dan mereka yang mengelola kompetisi ini hanya tertarik memperlebar kesenjangan yang sudah ada.
Tak heran para pemilik klub yang menjadi perancang-perancangnya dituding rakus dan tak pernah puas pada apa yang sudah mereka dapatkan, justru ketika komunitas sepak bola merintih karena merugi dan bahkan ada yang gulung tikar gara-gara pandemi.
Kompetisi ala mereka itu juga mengingkari esensi kompetisi olahraga dan melulu menganggap pemain, pelatih dan penggemar sebagai wayang untuk pertunjukan melalui mana mereka mengeduk keuntungan materi belaka.
Tak heran, prakarsa itu cuma bertahan 50 jam. Namun apakah ide Liga Super Eropa tersebut mati? Pemilik klub akan selalu berjuang untuk memaksimalkan keuntungan mereka. Tapi, suporter dan otoritas sepak bola dunia, akan terus berusaha agar sepak bola dieksploitasi untuk menjadi semata ladang uang bagi pemilik-pemiliknya.
Baca Juga: Liga Super Eropa Gembos, Presiden UEFA Sindir Florentino Perez