Wawancara: Herry IP Bicara Soal Atlet Bulu Tangkis Milenial
Reporter
Tempo.co
Editor
Rina Widiastuti
Selasa, 26 November 2019 08:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemain ganda putra bulu tangkis Indonesia menorehkan prestasi moncer dalam rangkaian turnamen BWF Super Series tahun ini. Hingga pekan lalu, tiga pasangan Indonesia bertengger di peringkat lima besar dunia. Pasangan Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo yang mengoleksi delapan gelar tahun ini menempati peringkat pertama; diikuti pasangan senior Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan di posisi kedua dan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto di tempat kelima.
Prestasi tersebut tak lepas dari peran kepala pelatih ganda putra Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, Herry Iman Pierngadi. Di tangan Herry IP biasa disapa, 57 tahun, ganda putra Indonesia tahun ini menjuarai semua turnamen Super 1000--turnamen berhadiah total sekitar US$ 1 juta--yaitu All England, Indonesia Terbuka, dan Cina Terbuka. Bahkan Hendra/Ahsan menjadi juara dunia. Ini prestasi terbaik ganda putra Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Selama melatih di pemusatan latihan nasional PBSI sejak 1993, Herry sudah mengantar pemainnya menjuarai Olimpiade, Asian Games, dan kejuaraan dunia. “Buat karier saya, kalau dari gelar kejuaraan sudah dapat semua. Komplet,” kata Herry dalam wawancara khusus dengan Tempo, Kamis, 21 November lalu.
Siang itu Herry sedang menggembleng anak didiknya di Pemusatan Latihan Nasional PBSI, Cipayung, Jakarta Timur. Setelah tiga jam melatih teknik para pemainnya, Herry menerima wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Aisha Shaidra. Selama kurang-lebih dua jam, ayah tiga anak yang menggeluti hobi memelihara burung murai ini menjelaskan berbagai hal, dari sepak terjangnya sebagai pelatih, regenerasi pemain, hingga tantangan menghadapi atlet milenial. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat perkembangan bulu tangkis belakangan ini?
Dua tahun terakhir, kekuatan bulu tangkis banyak bergeser. Di ganda putra, Denmark dulu salah satu pesaing terberat kita. Sekarang prestasi Denmark menurun, pemainnya tinggal satu-dua pasang. Korea Selatan juga pernah kuat, kini tinggal satu pasang pemainnya. Dulu kita masih menang-kalah, tapi dua tahun terakhir ganda putra kita dominan.
Apa kelebihan ganda putra Indonesia?
Pemain ganda putra di dunia sudah mengerti gaya Indonesia. Kita terkenal dengan permainan bola-bola kecil (permainan net). Unggulnya di situ, spesialisasi kita di situ. Atlet negara lain kalau melawan Indonesia harus banyak mikir. Kita lebih banyak main ke teknik. Kalau mereka mengandalkan power dan speed.
Apa yang menyebabkan keunikan gaya pemain Indonesia ini?
Hampir semua gedung pertandingan sekarang pakai penyejuk udara, jadi ada faktor angin. Menang angin, kalah angin itu pengaruh. Lalu anatomi tubuh pemain Indonesia tidak seperti pemain Korea Selatan dan Cina. Mereka besar-besar, tenaganya juga besar. Jadi kita lebih pakai teknik, tidak selalu hanya mengandalkan power.
Sejak kapan teknik ini dikembangkan?
Saya meneruskan dari Koh Chris (Christian Hadinata). Salah satunya strategi no lob (tidak mengangkat bola), tapi saya kembangkan lagi. Saya lebih detail dan banyak variasi. Dulu waktu Koh Chris hanya dua pola, sekarang saya punya empat-lima pola main bola kecil.
Pemain negara lain tidak bisa mengadopsi gaya pemain Indonesia?
Sudah mulai diadopsi sama Malaysia dan India, karena pelatihnya dulu anak buah saya semua.
Apakah atletnya bisa mengikuti?
Ada yang bisa, ada yang enggak. Tapi tetap saya pelajari kelemahan mereka. Contoh, India sekarang gandanya maju pesat. Kami punya tim yang merekam pertandingan. Kami pelajari kelemahan mereka. Kalau nanti bertanding, saya kasih tahu pemain saya tentang itu.
Bicara soal atlet milenial dan regenerasi pemain <!--more-->
Apa perbedaan melatih atlet zaman dulu dengan atlet milenial?
Atlet sekarang lebih profesional. Tampaknya itu pengaruh dari kontrak. Karena dulu kontrak itu masuk ke PBSI secara keseluruhan. Sekarang sponsornya langsung ke pemain dan PBSI enggak ambil uang. Ini membuat pemain memiliki tanggung jawab lebih besar.
Selain profesionalisme karena kontrak, ada alasan lain?
Dulu latihan fisik jauh lebih berat dibanding sekarang. Kini metode latihan lebih banyak ke teknik. Dulu fisiknya harus kuat karena pakai sistem 15 poin. Sekarang rally point. Itu perbedaannya banyak banget. (Dalam sistem rally point, pemain yang sedang tidak memegang kendali servis bisa langsung memperoleh angka jika kok pukulannya masuk ke daerah lawan atau lawan berbuat kesalahan. Sistem yang diterapkan sejak Desember 2005 itu menggunakan format skor 3 x 21. Sistem rally point cukup signifikan dalam memangkas durasi pertandingan.)
Apa tantangan dalam melatih pemain milenial?
Yang pasti gadget. Kalau pemain dulu enggak ada media sosial, kita di lapangan cuma ngobrol. Sekarang, jika latihan tidak dijaga, mereka bisa pegang gadget. Kita sampai harus bikin aturan. Pemain zaman dulu memang jauh lebih bisa berfokus. Pengaruh dari media sosial itu luar biasa, bisa bikin performa pemain naik ataupun turun.
Anda menjadi pelatih di pelatnas sejak 1993. Bagaimana pembibitan dulu sampai sekarang?
Dalam lima-tujuh tahun ke belakang, di Indonesia ada perubahan dengan diadakannya audisi beasiswa bulu tangkis. Animo masyarakat, terutama anak muda, sangat besar. Efeknya luar biasa. Dari audisi di Bandung, Purwokerto, Sumatera, dan kota-kota lain menjamur.
Pasokan bibit pemain menjadi lebih banyak?
Saya tidak tahu persis datanya, tapi sepertinya meningkat di atas 50 persen. Itu menjadi keuntungan pembibitan di Indonesia. Contohnya Kevin, yang merupakan hasil dari audisi 2007. Dengan adanya audisi ini, klub lain mulai mengikuti.
Ganda putra Indonesia terbilang paling moncer dan tak pernah kehabisan stok pemain. Mengapa sektor lain tidak bisa demikian?
Saya selalu memperhatikan regenerasi. Itu penting buat kita. Jangan selalu bertumpu pada satu pasang pemain. Misalkan sekarang Kevin/Gideon nomor satu dunia. Kita enggak perlu fokus ke mereka, mereka sudah jalan. Kita cari lagi pemain yang baru untuk kita siapkan. Saya sekarang sedang menyiapkan pasangan Fajar/Rian, permainan mereka masih naik-turun. Tapi di bawahnya harus disiapkan lagi. Istilahnya harus punya tiga lapis. Jadi regenerasi akan jalan terus.
Bagaimana caranya?
Setiap akhir tahun kan ada promosi dan degradasi. Pemain-pemain muda sudah saya naikin lagi. Harus selalu begitu, jadi regenerasi jangan sampai terlambat. Proses regenerasi itu butuh waktu.
Apakah regenerasi di sektor lain kurang berjalan dengan baik?
Kurang tahu juga. Sebenarnya sih ada, tapi tiap pelatih punya sistem. Itu yang mungkin masih belum berjalan atau sumber pemainnya masih terbatas.
(Wawancara lengkap bisa dibaca di Majalah Tempo edisi 25 November - 1 Desember 2019)