Karena Pandemi, Pelari Inggris untuk Olimpiade Ini Sampai Harus ke Psikolog
Reporter
Terjemahan
Editor
Arkhelaus Wisnu Triyogo
Rabu, 3 Februari 2021 14:18 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Bintang atletik dan pelari asal Inggris Dina Asher-Smith mengungkapkan bahwa dia telah menemui psikolog sejak awal pandemi Covid-19. Musababnya, impian wanita tercepat di Inggris untuk meraih kejayaan Olimpiade musim panas lalu harus terhenti karena penundaan Olimpiade Tokyo 2020.
Dina menolak untuk membiarkan penundaan Olimpiade itu membuatnya terhenti berada di puncak atletik dunia. Pelari asal London berusia 25 tahun itu pun segera mengambil langkah untuk menyambangi psikolog di British Athletics untuk menjaga mentalnya tetap pada jalurnya.
Berbicara kepada Women's Health, Asher-Smith mengungkapkan, "Ketika pandemi melanda, saya harus pastikan otak saya baik-baik saja. Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari psikolog karena saya telah bekerja terlalu keras untuk waktu yang lama sehingga pandemi menghancurkan beberapa tahun ke depan untuk saya."
Ia meneruskan, "Kami memiliki lima tahun dalam perjalanan yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Satu-satunya cara untuk menunjukkan yang terbaik adalah dengan berada dalam kerangka berpikir yang benar."
Baca juga : Paris Siapkan Rencana Darurat untuk Olimpiade 2024 Bila Pandemi Masih Berlanjut
Asher-Smith memecahkan rekor Inggris untuk nomor 100m dan 200m pada Kejuaraan Dunia 2019 di Doha. Di sana, ia memenangkan medali perak dan medali emas. Dia juga merupakan bagian dari tim estafet 4x100 meter yang berhasil mencatatkan putaran terbaik nasional 41,77 detik untuk meraih perunggu di Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Asher-Smith pun bercerita bahwa ia adalah sosok yang sangat pemalu pada masa lalu. "Percaya atau tidak, ketika saya masih di sekolah saya sangat pemalu dan itu karakter yang tidak sesuai untuk menjadi olahragawan terkenal. Orang akan menganggap rasa malu sebagai upaya menyembunyikan sesuatu. Anda bisa bersikap kejam, atau bersikap dingin, dan Anda hanya perlu keluar dari cangkang Anda."
Rasa malu itu sebenarnya bisa dengan mudah membuat Asher-Smith berhenti dari dunia olahraga, sama seperti yang terjadi pada sekelompok besar perempuan saat mereka menginjak remaja. "Saya pikir pada usia itu, ketika orang menjadi lebih sadar akan lingkungannya dan orang-orang mulai mencari siapa mereka, apa artinya menjadi seorang wanita, olahraga tidak ada dalam gambaran mereka."
“Anda harus menunjukkan bahwa menjadi olahragawan adalah karier yang layak, patut dirayakan, positif, tidak disertai stereotip, dan tidak bertentangan dengan menjadi wanita. Ketika Serena dan Venus Williams menjadi satu-satunya dua perempuan kulit hitam di tenis selama itu, mereka mampu menjadi pelopor."
"Sekarang kamu punya Naomi Osaka, kamu punya Coco Gauff, Sloane Stephens. Ada begitu banyak gadis kulit hitam karena Williams bersaudara telah menunjukkan, bahwa tenis adalah olahraga yang bisa mereka mainkan di level tertinggi,” ujar Asher-Smith, pelari Inggris tersebut.
THE SUN