TEMPO.CO, Pekanbaru- Beberapa pelajar menyimak buku-buku yang berhubungan dengan riwayat hidup dan karya Raja Ali Haji di Perpustakaan Soeman H.S., Pekanbaru, Riau, kemarin. Mereka ditugasi oleh gurunya untuk menelaah salah satu karya budayawan tersohor Melayu itu: Gurindam Dua Belas. Tentu saja, sang guru berkeinginan agar generasi muda Melayu Riau mengenal dan mencontoh suri teladan Raja Ali Haji.
“Karyanya sangat menyentuh, memperkuat keimanan,” kata Syarifah, salah seorang pelajar, sambil menunjukkan bait pada pasal 1 yang dibacanya, “Barangsiapa mengenal Allah, suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.”
Dinamakan Gurindam Dua Belas karena terdiri atas 12 pasal, yang di dalamnya mengandung petuah, sial ibadah, kewajiban para raja, sifat-sifat masyarakat, sampai kewajiban orang tua kepada anak dan sebaliknya.
Budayawan Riau, Hasan Junus, menerbitkan ulang karya tersebut dengan judul Raja Ali Haji Gurindam Dua Belas. Dalam pengantarnya untuk buku itu, ia menulis, betapa budayawan yang hidup pada masa abad ke-19 itu dikenal luas sebagai seorang pakar bahasa, sastra, ulama, sekaligus dalam bidang hukum dan ikut berperan dalam lapangan politik.
“Kepakarannya yang ragam, yang dijalankannya dengan kesungguhan, menempatkan tokoh ini menjulang di antara rekan-rekannya sezaman dan menjadi sangat sulit untuk ditandingi,” kata Hasan. “Tapi sangat baik untuk disandingkan dengan para penerusnya hingga masa kini.”
Raja Ali Haji adalah keturunan Bugis dan Melayu. Lahir di Selangor pada 1808, ia wafat di Pulau Penyengat, Riau, pada 1873. Ia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa, buku yang menjadi standar bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia.
Raja Ali Haji juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk. Karya lainnya adalah sejarah Melayu yang berjudul Tuhfat al-Nafis, serta ketatanegaraan dan hukum berjudul Mukaddimah fi Intizam. Berkat kehebatannya dalam berkarya, dia dijadikan sebagai penasihat kerajaan.
Kemampuannya dalam berkarya itu tak lepas dari pengaruh ayahnya, Raja Haji Amad, yang juga seorang sastrawan. Saat mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai utusan Riau ke berbagai daerah dan negara, Raja Ali Haji menimba ilmu agama dan budaya. Ketika kembali ke Riau, ia pun menjelma menjadi ulama yang disegani.
Atas jasa-jasanya, Raja Ali Haji dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 5 November 2004. Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Tenas Effendy, menilai karya-karya Raja Ali Haji tidak lekang ditelan zaman. “Monumental dan dijadikan teladan bagi generasi sekarang,” kata Tenas.
ALI ANWAR