Ronggeng Gunung, Kisah Pilu Permaisuri Kerajaan Galuh
Kamis, 4 Agustus 2016 13:56 WIB
INFO PON - Sebagai daerah otonomi baru, Kabupaten Pangandaran patut bangga karena mampu menyiapkan dua venue pertandingan untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX/2016, yakni untuk cabang olahraga pacuan kuda dan terjun payung. Venue pacuan kuda di Legok Jawa, Pangandaran ini istimewa karena terletak di pinggir pantai. Pacuan kuda serupa hanya ada di Inggris, yang juga berada di tepi laut. Keeksotisan arena pacuan kuda ini diyakini mampu menyedot perhatian wisatawan ke Pangandaran.
Pangandaran tak hanya kaya panorama pantainya. Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Ciamis ini juga memiliki banyak kesenian khas, peninggalan dari masa kejayaan Kerajaan Galuh. Lepasnya Pangandaran dari Ciamis turut menjadikan beberapa jenis kesenian disengketakan karena diklaim sebagai milik masing-masing kabupaten.
Kesenian Ronggeng Gunung, misalnya. Dalam buku “Kerajaan Galuh, Legenda, Takhta, dan Wanita” yang ditulis Her Suganda, tradisi Ronggeng Gunung bermula ketika Dewi Siti Samoja, permaisuri Prabu Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, terpaksa berpisah dari suaminya karena dikejar perompak. Demi keselamatan sang istri, Prabu Anggalarang meminta Dewi Siti Samoja pergi ke arah yang berlawanan dengannya, ditemani seorang pengiring setianya.
Dalam pelarian yang melelahkan jiwa dan raganya, Dewi Siti Samoja mendapatkan pesan gaib yang memintanya mengganti nama dan menyamar menjadi penari ronggeng. Sejak itulah, sang permaisuri mengganti namanya menjadi Dewi Rengganis dan berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menjadi penari ronggeng.
Berbeda dengan kesenian ronggeng pada umumnya, ronggeng yang dibawakan Dewi Rengganis hanya diiringi seorang nayaga atau awak gamelan, yakni pengiring setianya tadi. Untuk melengkapinya, di setiap tempat yang disinggahi, Dewi Rengganis meminta penduduk setempat membantunya dengan menjadi awak. Karena ronggeng Dewi Rengganis berkeliling mengunjungi penduduk yang kebanyakan tinggal di daerah pegunungan, kesenian ini pun kemudian populer dengan nama Ronggeng Gunung.
Kesenian Ronggeng Gunung tak hanya sekadar tarian atau hiburan. Ia merupakan sebuah pengantar dalam upacara adat. Dalam kepercayaan masyarakat Sunda, Dewi Siti Semboja disetarakan dengan Dewi Sri, dewi yang melambangkan kesuburan dan kegiatan pertanian. Karena itu, Ronggeng Gunung juga digelar dalam syukuran keberhasilan panen, sunatan, pernikahan, atau penyambutan tamu kehormatan.
Ronggeng Gunung kini ditarikan lima penari perempuan dan diiringi sekelompok ‘pengibing’ bersarung, sinden, dan penabuh gamelan. Terdapat aturan ketat yang tak boleh dilanggar para awak ronggeng, yakni melarang penari dan ‘pengibing’ melakukan kontak fisik langsung. Para awak juga harus memiliki stamina yang kuat karena Ronggeng Gunung biasanya dipentaskan hingga berjam-jam lamanya.(*)