Tinggalkan Atletik, Yuni Gemilang di Angkat Berat
Selasa, 30 Agustus 2016 12:52 WIB
INFO PON - Benarlah apa yang dikatakan Hadi Wijaya. Tiga tahunan lalu, mantan lifter nasional itu pernah mengungkapkan, Sri Wahyuni Agustiani adalah calon bintang angkat berat Indonesia, aset Indonesia di masa depan.
Pernyataan itu terbukti, tatkala Yuni, sapaan akrab gadis kelahiran Bandung 22 tahun lalu itu, menyabet medali perak dalam Olimpiade Rio 2016. Yuni pun menjadi penyumbang medali pertama untuk Indonesia dalam pesta olahraga dunia itu. Atlet bertubuh mungil, tinggi 147 sentimeter dan berat 42,25 kilogram, ini sukses mengangkat beban total 192 kilogram unuk snatch, serta clean and jerk dalam olimpiade kemarin.
Pascaraihan prestasinya di Rio de Janeiro itu, Yuni pun makin populer di media sosial. Akun Instagramnya yang sebelumnya hanya dikuti 300-an follower, langsung bertambah pengikut hingga 1200-an keesokan harinya dan tembus lebih dari 10 ribu tak sampai satu bulan kemudian.
Putri pasangan Candiana dan Rosita ini mulai berlatih angkat berat sejak usia 13 tahun. Awalnya, Yuni justru menekuni olahraga lari karena sang ayah adalah mantan pelari jarak jauh untuk tingkat kabupaten dan pernah mengikuti Porda Jabar pada 1992.
Yuni juga sempat mengikuti kejuaraan lari 10 kilometer, namun ajang lomba lari kala itu masih sangat jarang digelar, sehingga Yuni yang amat berjiwa kompetitif akhirnya melirik angkat berat, cabang olahraga yang sudah lebih dulu digeluti adiknya, Desi Nuryanti.
Ayahnya yang membawa Yuni ke tempat latihan angkat berat milik Maman Suryaman, salah seorang rekan Candiana yang juga mantan lifter nasional. Maman kini juga menjabat sebagai Ketua Persatuan Atlet Binaraga dan Angkat Berat Seluruh Indonesia (PABBSI) Jawa Barat.
Di tangan Mamanlah, Yuni mulai mendapat penggemblengan awal dan diminta tinggal di mess agar dapat berlatih lebih serius dan fokus. Yuni pun harus rela meninggalkan keluarganya di Kampung Pulus, Desa Banjaran Wetan, Kabupaten Bandung. Yuni pun harus mulai mengontrol makan makanan kesukaannya, yakni baso, batagor, dan seblak karena diet dan pola makannya diatur.
Namun semua pengorbanan itu terbayar, ketika gelar demi gelar juara dia raih. Yuni menyabet emas pada penyelenggaraan Islamic Solidarity Games ke-3 di Palembang pada 2013 dengan total angkatan 184 kilogram. Di tahun yang sama, dia kembali meraih emas saat mengikuti SEA Games di Myanmar (188 kilogram). Tahun berikutnya, Yuni mesti puas dengan raihan medali perak dengan total angkatan 187 kilogram pada penyelenggaraan Asian Games di Incheon, Korea Selatan.
Pada 2015, Yuni sempat galau dan bosan dengan rutinitasnya sebagai atlet. Kejenuhannya sempat membuatnya meninggalkan tempat latihan di Bekasi dan mudik ke kampungnya selama dua minggu. Namun berkat bujukan sang pelatih, Yuni mau kembali berlatih dan akhirnya justru sukses menorehkan prestasi kelas dunia di tahun berikutnya.
Atas prestasi itu, Yuni diganjar bonus Rp 2 miliar plus Rp 15 juta per bulan untuk tunjangan hari tua. Apa yang hendak Yuni lakukan dengan semua bonus itu?
’’Eneng sudah punya investasi rumah, tabungan, dan sekarang mau menambah tanah di samping jalan besar,’’ kata ayah Yuni. Eneng adalah pangilan kesayangan Yuni di rumah.
Yuni memang ingin keluarganya punya tempat tinggal yang lebih layak. Saat ini mereka tinggal di grumah sederhana, di gang yang lebarnya hanya muat dilewati satu sepeda motor. Yuni yang kini duduk di semester lima Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara, Bekasi, juga masih membiayai kebutuhan sekolah dua adiknya Eliana, 13, dan Rangga, 11. (*)