Ketua Jakmania Jelaskan Perusakan GBK di Final Piala Presiden
Reporter
Erlangga Dewanto
Editor
Nurdin Saleh
Kamis, 8 Maret 2018 14:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Masih ingat insiden perusakan fasilitas Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta (GBK) oleh sejumlah suporter pendukung Persija Jakarta, Jakmania, saat final Piala Presiden 2018? Kepada Tempo, Ketua Umum Jakmania, Ferry Indra Sjarief, bicara soal insiden itu, termasuk soal pelajaran yang bisa dipetik dan dilema yang dihadapi organisasinya.
Seperti diketahui, laga final Piala Presiden 2018 antara Persija Jakarta kontra Bali United yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta pada 16 Februari. Dalam pertandingan itu sejumlah oknum suporter yang tidak memiliki tiket tertangkap kamera CCTV merangsek masuk ke dalam stadion saat laga tengah berjalan.
Meski tak memakan korban jiwa, namun tindakan tersebut menjadikan sebagian fasilitas dari stadion yang bakal digunakan untuk ajang Asian Games 2018 itu mengalami sejumlah kerusakan.
Baca: Ketua Jakmania Bicara Beda Hubungan dengan Bonek dan Bobotoh
Kerusakan itu tak hanya menimpa pintu. Saat Persija sudah memastikan diri menjadi juara, selebrasi suporter kembali diwarnai insiden. Sejumlah oknum suporter beranjak dari tribun untuk merangsek masuk ke dalam lapangan. Fasilitas pembatas tribun yang baru saja direnovasi itu mengalami serangkaian kerusakan, juga kursi stadion.
Bahkan saat selebrasi tengah berjalan, medali kemenangan dari legenda hidup Persija, Bambang Pamungkas, diketahui hilang karena dicomot oleh salah satu oknum suporter yang tidak bertanggung jawab.
Menurut Ferry, semua itu bermula saat layar lebar yang disediakan oleh panitia Piala Presiden yang berada di luar SUGBK tiba-tiba mati secara mendadak. "Saat mereka sudah berduyun-duyun untuk menonton di layar lebar, tiba-tiba mati layar lebarnya. Lalu mereka gelisah karena laga sudah memasuki menit-menit terakhir.
Saat lihat ke dalam stadion, penjagaannya sudah enggak ketat. Di dalem ada orang keluar. Cukup dengan dorong pintu, sudah bisa masuk," ujar Ferry kepada Tempo di Jakarta pada Senin, 5 Maret 2018.
Baca: Jakmania Berulah, Panitia Piala Presiden Siap Ganti Kerusakan GBK
Ferry mengatakan, hal tersebut dapat terjadi karena karakter penonton sepak bola saat berada di kerumunan masa bisa menjadi sangat berbeda. Hal itu, kata Ferry, juga berkaitan dengan karakter dari orang Indonesia itu sendiri.
"Suporter bola, saat mereka berada dalam jumlah yang besar, akan menjadi berbeda karakternya. Orang Indonesia itu kan selalu takut enggak kebagian. Jadi waktu ada orang yang nggak dapet tiket, kalau ada kesempatan untuk masuk, dia akan berbondong-bondong masuk. Efek dan risikonya itu prioritas kedua bagi mereka," ujarnya.
Ferry menambahkan, saat kerusuhan seperti itu terjadi, terdapat beberapa oknum yang sebenarnya secara diam-diam mencari keuntungan. Mereka, kata Ferry, selalu menjadi provokator dari beragam aksi kerusuhan tersebut. Ferry mengatakan, mereka yang dimaksud itu adalah para copet.
Baca: Setelah 17 Tahun, The Jakmania Haus Gelar Juara Liga dari Persija
"Kami sudah pengalaman di Patriot. Setiap ada dorong-dorongan, polisi hp-nya hilang. Anak-anak (The Jakmania) yang dorong-dorongan juga hp-nya juga ikut hilang. Karena itulah yang mereka (copet) cari. Ketika terjadi desak-desakan, itulah kesempatan mereka," ujarnya.
Untuk itu, menurut Ferry, terdapat peran bagi organisasi kelompok suporter seperti Jakmania untuk dapat mengedukasi masa pendukung seperti itu. Ferry berujar, organisasi suporter di ranah sepak bola berguna untuk mengatur perilaku suporter yang sebelumnya primitif, menjadi suporter yang lebih teratur dan teredukasi.
"Kalau memang masih sering terjadi kerusuhan, memang berarti kami masih memiliki banyak PR (pekerjaan rumah). Kami sudah coba untuk merangkul semua untuk dapat masuk ke barisan kami (The Jakmania). Tapi kan belum tentu semuanya mau. Butuh waktu aja untuk perbaikan," ujarnya.
Baca: Terkenal di Kalangan Jakmania, Apa Arti ACAB dan Rojali?
Ferry menambahkan, sebenarnya dibutuhkan tanggung jawab dari panitia pelaksana agar kejadian kerusuhan seperti di final Piala Presiden kemarin tidak terjadi kembali. "Entah panpel menggunakan tenaga pengurus suporter, atau menggunakan tenaga polisi. Tapi panpel yang harus bertanggung jawab," ujarnya.
Pasalnya, menurut Ferry, kewenangan dari organisasi suporter hanya terbatas kepada edukasi kepada para pendukung tersebut. Ferry mengatakan, dalam laga final kemarin, usaha untuk mengedukasi penonton itu sudah dilakukan dengan menggencarkan kampanye Jaga GBK jauh hari sebelum pertandingan final itu digelar.
Sedangkan untuk bisa menghukum oknum suporter yang terus berulah, kata Ferry, kewenangan organisasi suporter untuk melakukan hal tersebut sangatlah terbatas. Hal tersebut berlaku di Jakmania. "Paling jauh, hukum organisasi kami, saat anak itu tidak bisa dibilangin, ya, kami cabut KTA-nya (Kartu Tanda Anggota). Kalau dia sudah tidak menjadi anggota kami, apa kami berhak menghukumnya? Kan tidak," ujarnya.
ERLANGGA DEWANTO